Nota Pastoral KWI 2004
KEADABAN PUBLIK:
MENUJU HABITUS BARU BANGSA
Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan sosio-budaya
PENGANTAR
1.
Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2004 berjudul “KEADABAN
PUBLIK : MENUJU HABITUS BARU BANGSA. Keadilan Sosial Bagi Semua :
Pendekatan sosio-budaya” [1]. Telaah ini dipilih sehubungan dengan keadaan
masyarakat Indonesia yang tengah berlangsung.
2.
Masyarakat Indonesia berada dalam masalah yang serius. Masalah serius yang kita
hadapi bersama adalah persoalan rusaknya keadaban publik (public civility).
Dalam Surat Gembala Prapaskah KWI 1997 [2] masalah itu dirumuskan sebagai
kerusakan moral hampir di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Empat tahun kemudian, dalam Surat Gembala Paskah KWI 2001 masalah
itu direnungkan kembali lewat sebuah pertanyaan, “… betulkah sekarang ini
hanya ada kemerosotan moral saja atau sudah matikah moral dan etika yang
seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?”
[3]. Kemudian dalam Nota Pastoral KWI 2003 masalah serius tersebut
dipandang sebagai hancurnya keadaban [4]. Dalam keadaan demikian, kesejahteraan
bagi seluruh bangsa Indonesia yang menjadi tujuan negara, sulit dicapai.
Sebaliknya, merebaklah wabah ketidak-adilan di bidang politik, ekonomi, dan
budaya.
3.
Dalam Sidang Tahunan KWI 1-11 November 2004 semakin disadari bersama bahwa
hidup kita sekarang ini telah menjadi begitu lemah, karena tidak ditata
berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Hati nurani tidak dipergunakan,
perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perilaku lebih
dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh
perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan
bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia
menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh harta dan
jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain, sehingga
martabat manusia diabaikan. Uang menjadi terlalu menentukan jalannya kehidupan.
Karena itu Indonesia hampir selalu gagal untuk memiliki pemerintahan yang
bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela,
penyelenggara negara memboroskan uang rakyat. Semua itu membuat orang menjadi
rakus dan kerakusan itu merusak lingkungan hidup dan dengan demikian orang tidak
memikirkan masa depan.
4.
Masalah-masalah tersebut direnungkan lagi dan dibahas dalam Sidang Tahunan
KWI 2004. Usaha ini dilakukan karena Gereja merasa ikut bertanggungjawab dalam
membangun kembali keadaban publik yang rusak tersebut, agar
berkembanglah habitus baru bangsa kita.
PILIHAN
PENDEKATAN
5.1.
Sidang Tahunan KWI tanggal 3-13 November 2003 mengambil tema Keadilan
Sosial. Keadilan sosial disoroti dari sisi sosial-politik, karena waktu itu
bangsa Indonesia sedang menghadapi Pemilihan Umum. Butir-butir gagasan yang
dibahas dalam sidang itu diedarkan dalam bentuk Nota Pastoral yang berjudul
“Keadilan Sosial Bagi Semua”.
5.2.
Sidang Tahunan KWI tanggal 1-11 November 2004 ini melanjutkan pembahasan
mengenai tema keadilan sosial dari sisi sosial-budaya. Keputusan untuk memilih
telaah ini melewati diskusi yang cukup panjang. Dalam Sidang KWI 2003 cukup
banyak pembicaraan mengenai ekonomi. Jelas bagaimana ekonomi makro membawa
banyak masalah. Kehidupan demokrasi macet dibuatnya.Belum lagi dampaknya dalam
menciptakan pola hidup konsumtif dan pendewaan materi. Namun kalau dirunut,
masalah-masalah sosial-ekonomi, politik dan kekacauan nilai-nilai dalam
masyarakat kiranya hanya merupakan manifestasi dari masalah-masalah yang jauh
lebih mendasar, yakni masalah budaya. Budaya berkaitan langsung dengan
mentalitas orang dan sikap hidup masyarakat. Mentalitas ini memang dibentuk
oleh lingkungan, namun pada gilirannya juga membentuk perilaku individu dan
lingkungannya kembali. Atas pertimbangan ini diputuskan bahwa dalam Sidang
Tahunan KWI 2004 ini, KWI perlu membahas realitas masyarakat dengan teropong
budaya. Disadari perlunya dibangun budaya baru.
RUMUSAN
MASALAH
6.
Sebagaimana sudah dinyatakan, masalah serius yang kita alami bersama adalah
persoalan rusaknya keadaban publik. Dengan istilah ini mau diungkapkan
bahwa masalah yang kita hadapi bukan hanya soal sekitar pribadi, sekitar
bagaimana menjadi manusia yang berperilaku baik. Tetapi lebih-lebih bagaimana
dengan mengusahakan hal yang baik secara orang-perorangan, sekaligus juga
diciptakan iklim, lingkungan, dan suasana yang kondusif bagi kesejahteraan
bersama. Ini dilakukan melalui tata-kelola badan-badan publik, penyelenggaraan
tata ekonomi, serta pengembangan kehidupan bersama dalam masyarakat. Masalah-masalah
yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini terdiri dari korupsi,
kekerasan dan kehancuran lingkungan. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar
membuat ruang publik tidak berdaya dan tidak berbudaya serta meningkatkan
jumlah maupun jenis kerusakan-kerusakan lain dalam masyarakat.
6.1.
Korupsi
Untuk
melihat betapa korupsi menguasai peri hidup orang Indonesia, dapat digunakan
misalnya hasil penelitian Transparency International [5]. Tahun ini dinyatakan
bahwa di antara 146 negara, Indonesia berada di urutan ke-lima negara terkorup
di dunia, setingkat lebih buruk dari tahun yang lalu. Korupsi yang terjadi
sekarang ini sudah berkembang menjadi korupsi politik dan politik korupsi.
Korupsi tidak terbatas pada pencurian uang untuk memperkaya diri, tetapi sudah
menyangkut suatu pola korupsi yang berantai dan rakus. Untuk mencapai posisi
politik atau jabatan tertentu, misalnya, seorang calon harus
terlebih dulu mengeluarkan uang yang tidak kecil jumlahnya. Setelah
kedudukan atau jabatan itu tercapai, dia pertama-tama akan mencari segala jalan
untuk mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan itu, termasuk melalui
sarana-sarana publik, penyusunan peraturan-peraturan bahkan perundang-undangan.
Wabah korupsi ini masih diperparah oleh rendahnya mutu pendidikan.
6.2.
Kekerasan
Salah
satu sumber kekerasan adalah penyakit sosial yang disebut komunalisme. Masyarakat
yang terjangkit penyakit ini memandang orang yang tidak termasuk kelompoknya
(agama, suku atau pengelompokan yang lain) sebagai saingan atau bahkah
musuhnya. Pola berpikir mereka bukan benar atau salah, melainkan menang atau
kalah. Dengan pola berpikir seperti itu, kekerasan amat mudah digunakan untuk
merebut apa yang dikehendaki, yaitu kemenangan. Sementara itu kekerasan sering
dihubungkan dengan militer dan militerisme. Militer dan aparat keamanan
merupakan aset nasional yang sangat berharga. Masyarakat yang baik membutuhkan
aparat militer dan keamanan yang baik pula. Pencermatan dan kontrol atas aparat
militer dan keamanan adalah tindakan yang bersifat preventif, yaitu agar
kekerasan yang dilakukan secara struktural lekas ditinggalkan, dan apa
yang dulu pernah dilakukan diakui dan tidak dilanjutkan lagi. Sejarah
menunjukkan bahwa lembaga militer yang dimaksudkan untuk melindungi rakyat, ternyata
dalam kurun waktu tertentu telah menampilkan wajah kekerasan [6]. Dengan
demikian, militer menjadi sebuah bentuk pelembagaan kekerasan yang menular ke
dalam lembaga-lembaga sipil sebagai militerisme. Militerisme secara sadar atau
tidak merasuk ke dalam lembaga-lembaga sipil, termasuk lembaga agama, menyulut
dan menyebarkan kekerasan dan dengan demikian merusak semuanya. Merebaknya
budaya kekerasan dalam masyarakat tidak bisa dipisahkan dari kegagalan aparat
keamanan dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat.
6.3.
Kehancuran lingkungan
Kerusakan
lingkungan sudah sampai tahap membahayakan hidup manusia. Salah satu faktor
penting yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah pembabatan hutan. Sejak
tahun 1985, terjadi pembabatan hutan sebesar 1.6 juta hektar per tahun dan pada
tahun 1997 meningkat tajam menjadi 2.83 juta hektar per tahun. Beberapa waktu
yang lalu, Televisi Republik Indonesia setiap hari menayangkan iklan yang
menyatakan bahwa setiap hari lebih dari 83 milyar rupiah dirampok dari hutan
Indonesia. Kerusakan itu sudah mengakibatkan kerusakan lingkungan baru. Bukan
hanya pohon-pohon yang hancur, tetapi iklim pun terpengaruh oleh kerusakan
itu. Selain pembabatan hutan, masih banyak faktor lain yang menyebabkan
kehancuran lingkungan, misalnya pembuangan limbah-limbah beracun, eksploitasi
sumber-sumber daya alam yang tanpa kendali.
MENIMBANG
KEADAAN
7.
Keadaan masyarakat Indonesia sesudah Pemilihan Umum pada tahun ini menunjukkan
hal-hal yang baru : hal yang baru dan baik serta hal yang baru tetapi tidak
baik.
7.1.
Hal yang baru dan baik
Dari
satu pihak kita melihat hal-hal yang baru dan baik. Pemilihan Umum khususnya
Pemilihan Presiden langsung, memberikan pengalaman baru. Rakyat benar-benar
memilih sesuai dengan apa yang diinginkan dan didambakan berdasarkan
informasi yang bisa diperoleh. Pemilihan Umum berjalan dengan damai, hampir
tanpa insiden kekerasan, juga kurang lebih jujur dan adil. Pemerintahan baru
dalam kampanye dan dalam wacana setelah dilantik, menjadikan korupsi perhatian
utama. Pemberantasan korupsi menjadi tolok ukur keberhasilan Kabinet Indonesia
Bersatu. Pemerintahan yang baru mengajak seluruh lapisan dan elemen masyarakat
bangsa bertekad bulat membangun kembali peradaban atau peri kehidupan
bangsa kita yang “rusak-rusakan” agar kembali ke relnya semula yang telah
dituangkan dengan baik dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 “… Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD
Negara Indonesia…”.
7.2.
Hal yang baru tetapi tidak baik
Dari
lain pihak kita tetap berprihatin dengan hal-hal yang baru tetapi sungguh tidak
baik. Dengan mata telanjang dapat diamati kemunculan tegangan-tegangan baru
dalam badan-badan publik penyangga demokrasi, keraguan dan kegelisahan dalam
sektor/ komunitas bisnis, demikian pula kerisauan akan masa depan bangsa dan
ketegangan-ketegangan dalam dan di antara komunitas-komunitas masyarakat
warga.
KEADABAN
PUBLIK: TIGA POROS KEKUATAN
8.
Hidup bersama yang sehat dibangun di atas perimbangan tiga poros kekuatan yang
sama-sama mengelola ruang publik, yakni Negara, Masyarakat Pasar dan Masyarakat
Warga. Masing-masing mempunyai landasan keberadaan serta aturan main yang
berbeda.
8.1.
Melalui badan-badan publiknya, negara bergerak di ruang publik dengan
menyelengga-rakan kesejahteraan umum. Keberadaannya berdasarkan kekuasaan yang
dilimpahkan secara sah padanya oleh masyarakat, melalui suatu proses
demokratis, seperti Pemilihan Umum. Lembaga publik ini mempunyai kuasa
regulatip yang memungkinkan pengaturan dan koordinasi hidup bersama, misalnya
wewenang untuk melarang pabrik kertas membuang limbah di sungai yang
membahayakan kesehatan masyarakat di sekitar pabrik tersebut.
8.2.
Masyarakat pasar atau sektor bisnis bergerak di ruang publik melalui urusan
transaksi jual-beli barang dan jasa secara spontan, namun “fair” demi
keuntungan baik bagi penjual,
pembeli, maupun masyarakat pada umumnya.
8.3.
Sedangkan masyarakat warga berinteraksi di ruang publik atas dasar
saling-percaya dan tata perilaku sosial yang diandaikan diterima dan dihormati
oleh semua pihak. Rasa aman orang berjalan di jalan umum tanpa khawatir
ditabrak kendaraan, rasa nyaman dalam beribadat, spontanitas warga untuk
menanam pohon bagi penghijauan, untuk memasang lampu penerang di depan
rumah, merupakan tanda ada dan berfungsinya sebuah komunitas warga.
9.
Ketiga poros yang mengelola ruang publik ini bersifat hakiki tetapi sekaligus
juga rawan. Di dalam sejarah bangsa kita, ternyata ketiga poros kekuatan
penyelenggara ruang publik ini dibiarkan bergerak, hampir tanpa aturan. Padahal
kalau tidak ada keadilan, sebenarnya hukum tidak bisa ada. Pengurusan atau
pengelolaan ketiga unsur ini tampak secara berkepanjangan diserahkan pada
mekanisme pasar bebas yang tanpa etika. Kesemrawutan interaksi di ruang
publik ini makin runyam karena dipicu oleh kekuatan tekno-kapital yang
menguasai media massa. Sementara itu tidak ada strategi kebudayaan yang
memperkuat modal sosial masyarakat yang dapat menciptakan keseimbangan dalam
interaksi pengelolaan ruang publik. Bukannya masing-masing poros
menjalankan fungsi kontrol terhadap yang lain, sebaliknya terjadilah kolusi
antara badan-badan publik dengan sektor bisnis. Lagi dan lagi mereka yang
menjadi korban tidak lain adalah komunitas-komunitas warga atau masyarakat pada
umumnya.
10.
Keseimbangan lewat fungsi kontrol silang antara tiga poros kekuatan pengelola
ruang publik di atas merupakan prasyarat bagi kehadiran dan pertumbuhan
keadaban publik. Keadaban publik inilah yang seharusnya menjadi
cakrawala yang menarik bangsa kita ke depan, menjadi watak baru bangsa
Indonesia. Keadaban publik perlu mempengaruhi dan mengontrol perilaku kekuasaan
yang diserahkan masyarakat pada negara dan badan-badan publiknya,
mengatur dan mengawasi pasar dan komunitas bisnisnya, dan menjadi jiwa yang
menghidupi masyarakat warga dan komunitas-komunitasnya. Keadaban publik harus
menjadi habitus bangsa ini, sebagai gugus insting, baik individual
maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara
memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok.
11.
Kerusakan keadaban publik tidak hanya disebabkan oleh kekuatan-kekuatan merusak
yang tumbuh subur di dalam negeri ini. Kekuatan-kekuatan global berpengaruh
besar. Salah satu akibat buruk globalisasi adalah goncang, kabur atau bahkan
hilangnya nilai-nilai tradisi yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup
yang luhur dan meyakinkan. Akibat lainnya adalah membanjirnya informasi yang
tidak selalu jelas mutunya namun berdaya manipulatif. Arus deras informasi ini
menyergap pribadi, menyerang keluarga, menggilas komunitas dan masyarakat umum
di saat-saat mereka santai, melalui bujukan-bujukan halus dan menghibur
untuk membeli produk-produk dan gaya hidup. Tidak mudah lagi membedakan mana
yang baik mana yang buruk, mana yang benar mana yang salah, mana yang perlu
mana yang sekedar mendatangkan kesenangan. Masalahnya ialah berbagai informasi
ini dapat dengan mudah berperan sebagai kekuatan yang membentuk pendapat umum
yang seolah-olah benar dan baik. Dengan cara itu penjajahan media atas
kemanusiaan dengan mudah akan semakin mencengkeram.
MENATAP
KE DEPAN MEWARTAKAN PENGHARAPAN
12.
Keadaan yang digambarkan di atas menimbulkan pertanyaan bagaimana hidup beriman
harus diungkapkan dan diwujudkan dalam kenyataan hidup seperti ini. Banyak
jawaban yang bisa diberikan. Diharapkan agar orang beriman memahami dan ikut
merasakan keadaan jiwa para korban sebagai salah satu awal proses pertobatan
[7] . Jawaban lain yang sering muncul dalam pembicaraan ialah
menjadikan Gereja sebagai komunitas murid-murid Tuhan yang berharap.
Pilihan untuk menjadikan diri komunitas murid-murid Tuhan yang berharap ini
sudah diambil oleh KWI dalam Surat Gembala Prapaskah 1997 yang berjudul
“Keprihatinan dan Harapan”. Pilihan dipertegas lagi dalam dua Surat
Gembala KWI berikutnya. Ketika keadaan di negeri ini tampaknya menjanjikan,
pada tahun 1999 KWI mengeluarkan Surat Gembala Paskah yang berjudul
“Bangkit Dan Tegak Dalam Pengharapan”. Dan ketika keadaan negeri
ternyata menjadi semakin tidak menentu, KWI mengeluarkan Surat Gembala Paskah
2001 dengan judul “Tekun Dan Bertahan Dalam Pengharapan”. Pengharapan
ini pulalah yang ingin dikumandangkan lewat Pesan Natal 2004 bertemakan “Allah Sumber
Pengharapan Dunia”.
13.
Harapan bukanlah sekedar optimisme yang dilandaskan pada ideologi yang
seringkali mengklaim mampu memecahkan atau memberi jalan keluar untuk
segala masalah [8] . Harapan dilandaskan pada keyakinan iman yang teguh bahwa
“Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya
sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp 1:6). Dengan kata lain,
berharap berarti hidup berdasarkan janji Allah. Gereja hidup dalam tegangan
antara janji dan pemenuhan janji. Itulah yang terungkap dalam seluruh Kitab
Suci. Kitab Suci dibuka dengan kisah penciptaan yang menyatakan bahwa segala
sesuatu adalah baik (Bdk. Kej 1:4.10.12.17.21.25), bahkan amat baik adanya
(Bdk. Kej 1:31). Memang benar, kisah penciptaan ini langsung disusul dengan
kejatuhan manusia yang pertama (Bdk. Kej 3) dan kejatuhan-kejatuhan yang lain :
persaingan budaya dan iri hati yang berkembang menjadi kebencian dan bermuara
pada pembunuhan sesama saudara (Bdk. Kej 4:1-14), kejahatan manusia yang
mengakibatkan hancurnya alam ciptaan (Bdk. Kej 6-7), dan kesombongan yang
mencerai-beraikan umat manusia (Bdk. Kej 11). Tetapi kejatuhan itu setiap kali
disusul dengan janji baru ( Bdk. Kej 4:15;9; 12:1-3). Dan akhirnya
seluruh sejarah penyelamatan ditutup dengan kepastian harapan akan masa depan
yang baru, “langit baru bumi baru”, ciptaan yang dipulihkan kembali pada
kepenuhan sejarah (Bdk Why 21:1-4). Harapan dilandaskan pada keyakinan iman
bahwa Tuhan mengarahkan umat manusia dan seluruh ciptaan menjadi “kerajaan yang
berpedoman kebenaran dan kehidupan, kerajaan yang memancarkan kesucian dan
rahmat, kerajaan yang berlimpahkan keadilan, cinta kasih dan damai” [9].
Berlandaskan harapan kristiani seperti ini, Gereja Indonesia perlu
terus-menerus membaca tanda-tanda zaman, menganalisa kekuatan-kekuatan merusak
yang mengasingkan dunia dan umat manusia dari kekuatan kasih Allah sambil
menawarkan pemikiran dan tindakan kreatif serta cara hidup alternatif sebagai
wujud hidup berpengharapan.
GEREJA
YANG TERUS-MENERUS BERTOBAT
14.
Gereja Indonesia dengan rendah hati dan tulus mengakui bahwa dia telah ikut mengambil
bagian dan tidak bisa melepaskan tanggungjawab dalam rusaknya keadaban publik
ini. Dengan kesadaran itu Gereja bertekad mau mengambil bagian, bersama semua
orang yang berkehendak baik, dalam mengobati luka-luka dan membangun keadaban
yang baru. Gereja perlu terus-menerus bertobat dan juga mengajak semua orang
untuk terus-menerus bertobat. Bertobat berarti mengubah sikap dan hati,
menentukan arah dasar hidup serta menata ulang mentalitas. Proses pertobatan
membawa orang dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Dengan pengertian
seperti ini Gereja dapat membawa reformasi rohani yang amat diperlukan untuk
berhasilnya reformasi nilai dan selanjutnya reformasi politik. Dalam situasi
ideal, Gereja dapat memelopori reformasi rohani sedangkan budaya mendorong
reformasi nilai. Sementara itu warga-negara membangun reformasi politik. Gereja
yang terus-menerus bertobat dapat menjiwai, mengarahkan dan mendorong manusia
dari dalam. Dalam hal ini orang yang memerankan sama, dengan identitas yang
berbeda-beda, yaitu orang beriman, orang yang berbudaya, dan warga negara
[10].
MEMBANGUN
BUDAYA BARU
15.
Berharap berarti mengembangkan pemikiran, tindakan kreatif, serta cara hidup
alternatif. Salah satu usaha yang perlu ditempuh adalah mencari dan menemukan budaya
baru yang merupakan budaya alternatif atau budaya tandingan. Maksud budaya
alternatif adalah suatu pola pandang dan perilaku yang menjadi tandingan
terhadap pola pandang dan perilaku yang berlaku umum dalam masyarakat. Dengan
membangun dan mengembangkan budaya alternatif, akar-akar yang menyebabkan
korupsi, kerusakan lingkungan, kekerasan dan penyelewengan kekuasaan diharapkan
dapat diatasi. Sejalan dengannya, secara bertahap keadaban publik terbangun dan
kesejahteraan umum terwujud.
16.
Dengan demikian peran budaya alternatif atau budaya tandingan adalah menjadi
kekuatan yang berasal dari dalam yang menggerakkan orang untuk memilih dan
mengembangkan pola pandang dan perilaku yang baru yang sesuai dengan cara-cara
yang memungkinkan orang mencapai kesejahteraan umum. Selain itu, dengan budaya
alternatif orang dicegah untuk tidak terjebak dalam pembusukan, yang akhirnya
mematikan hati nurani. Kematian hati nurani adalah akar dari segala kehancuran,
dan tanpa hati nurani, kesejahteraan umum tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Selain itu, budaya alternatif mau menata ulang kehidupan bersama dengan
membongkar pola pikir dan
perilaku yang berlawanan dengan martabat luhur manusia beriman.
17.
Salah satu sumber kekuatan untuk membangun budaya alternatif dapat kita temukan
dalam diri Yesus sendiri. Selanjutnya Yesus memanggil murid-murid-Nya, terutama
kelompok duabelas murid, untuk menghayati pola hidup alternatif seperti
terungkap dalam Sabda Bahagia dan Khotbah di Bukit (Mat 5-7) : di mana
ada nafsu untuk memiliki dan ketakutan untuk memberi serta berkorban, Yesus
menyerukan semangat kemiskinan di hadapan Allah; di mana ada
kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dan kekuatan apabila hak-hak
dilanggar, Yesus menawarkan kelembutan dalam perjuangan dan pengharapan pada
Allah yang memperhatikan jeritan penderitaan orang-orang lemah; di mana ada
ketakutan menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang, Yesus menjamin kebahagiaan
bagi orang yang tidak takut dicela dan dianiaya dalam memperjuangkan
kebenaran (bdk Mat 5:3.5.10-12); di mana agama dilaksanakan secara lahiriah dan
setengah-setengah, Yesus menantang kita untuk mengembangkan komitmen iman yang
radikal ( bdk Mat 5:17-48). Kekuatan lain untuk membangun budaya
alternatif dapat kita timba dari kehidupan umat perdana. Mereka menjelmakan
nilai-nilai alternative dalam kehidupan bersama, sehingga “mereka disukai semua
orang” (Kis 2:47; bdk Kis 4:32-35).
18.
Bersumber pada inspirasi iman itu, Gereja dapat mengembangkan budaya alternatif
dalam lingkup tiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik :
18.1.
Ketika masyarakat ditawari praksis “yang kuat yang menang”, Gereja
memperlihatkan melalui perkataan dan perbuatan bahwa “yang kecil, lemah, miskin
dan tersingkir harus didahulukan”. Gereja perlu terus-menerus, tanpa mengenal
lelah, menyuarakan bahwa hukum yang adil harus berlaku untuk semua, dan tidak
boleh memihak pada kelompok tertentu. Inilah salah satu unsur terpenting
penegakan hukum. Untuk itu struktur hukum harus melindungi kepentingan orang kecil,
lemah, miskin
dan tersingkir, melalui kebijakan-kebijakan publik.
18.2.
Ketika warga masyarakat seakan-akan digiring untuk menyembah uang, Gereja perlu
bersaksi dengan mewartakan Allah yang bersetiakawan dan penuh kerahiman. Gereja
sendiri perlu memainkan perannya sebagai komunitas yang transparan dan
akuntabel, di mana uang tidak dipakai untuk kepentingan sendiri tetapi
digunakan dalam fungsi sosialnya, yakni untuk melaksanakan secara gesit dan
tangkas solidaritas kemanusiaan.
18.3.
Ketika masyarakat dikondisikan untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala
cara, Gereja perlu mengembangkan dalam dirinya sendiri budaya damai (dialog,
kerjasama, musyawarah, saling menghormati). Gereja harus terbuka, efektif dan
efisien dalam mengemban perannya sebagai persekutuan yang partisipatif, yang
mendorong umat terlibat secara proaktif dalam dialog kemanusiaan demi
terwujudnya persaudaraan yang tahan uji.
19.
Pilihan untuk membangun dan mengembangkan budaya alternatif bukan pilihan
yang mudah, karena Gereja sendiri rapuh, tidak mudah memperbaharui diri dari
dalam dan Gereja hidup di tengah-tengah masyarakat yang dilanda oleh
kekuatan-kekuatan yang merusak itu. Namun dengan membangun dan mengembangkan
budaya alternatif, Gereja memperlihatkan bahwa masih ada kemungkinan lain yang
dapat dilakukan untuk mengadakan perlawanan terhadap perusakan keadaban publik.
Pengembangan budaya alternatif paling ideal dilakukan melalui pendidikan nilai,
khususnya bagi orang muda. Melalui pendidikan itu, mereka diajak, diberi
kesempatan dan kemungkinan untuk mengalami secara nyata makna kehidupan, kasih
sejati, pengampunan dan nilai-nilai yang lain. Dalam hal ini peranan
keluarga amat menentukan.
MENGAYUNKAN
LANGKAH-LANGKAH NYATA
20.
Masalah yang kita hadapi begitu kompleks. Gereja Indonesia ingin ikut terlibat
dalam membangun masa depan baru yang diletakkan di atas dasar sendi-sendi tata
susila kemasyarakatan, yaitu kebenaran dan keadilan, cinta kasih dan kebebasan [11].
Dengan demikian diharapkan semakin terjaminlah kesejahteraan bagi seluruh warga
negara. Perlulah dicari dan ditemukan jalan dan cara yang bisa ditempuh
sebagai wujud keterlibatan itu.
21.
Dalam pembicaraan-pembicaraan bersama, para Uskup mengusulkan hal-hal yang
amat konkret sebagai berikut:
21.1.
Gereja ingin menjadi sahabat bagi semua kalangan; mendengar dengan hati dan
jiwa para penderita, korban, kaum tergusur dan mendoakan mereka; mengupayakan
rasa kesenasiban dan keberpihakan kepada para penderita; mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk membagi keprihatinan dan membangun nilai; menyediakan
sarana atau kesempatan untuk temu persaudaraan yang mengatasi berbagai macam
sekat sosial.
21.2.
Dalam kehadiran dan pelayanannya Gereja ingin mengembangkan modal-modal sosial
yang amat bernilai seperti : kekayaan budaya nasional sebagaimana tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terutama mengenai keadilan sosial
bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai - hal yang
juga dapat digali dari kekayaan budaya setempat; kerelaan membantu
saudara-saudari yang berkesusahan karena tertimpa bencana.
21.3.
Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar
rumput seperti gerakan pelestarian lingkungan, pertanian organik, pengembangan
ekonomi kerakyatan misalnya melalui credit union.
21.4.
Gereja ingin mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke
dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat,
gerakan-gerakan masyarakat yang mencermati kinerja pemerintahan dan
lembaga-lembaga negara lainnya.
21.5.
Gereja merasa wajib untuk memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan,
misalnya dengan mempelajari kemungkinan model pendidikan alternatif, pendidikan
media dan budaya baca-tulis yang mengembangkan daya kritis.
21.6.
Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. Untuk
mendukung gerakan pemberantasan korupsi, Gereja ingin memberi perhatian pada
pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga
gerejani sendiri terlebih dulu.
21.7.
Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama,
sesuai dengan konteks masyarakat tempat Gereja hadir dan melayani. Usaha
pencarian bersama itu bisa dilakukan dalam berbagai komunitas basis, yang
terus-menerus perlu mengembangkan diri dan merupakan tempat yang subur bagi
terjadinya penegasan bersama. Komunitas-komunitas basis, khususnya Komunitas
Basis Gerejani, yang mau ditumbuh-kembangkan sesuai amanat Sidang Agung Gereja
Katolik Indonesia 2000, hendaknya menjadi komunitas-komunitas yang menghayati
budaya hidup alternatif seperti telah diteladankan oleh umat perdana.
PENUTUP
22.
Demikianlah butir-butir pemikiran yang berkembang dalam Sidang KWI 1-11
November 2004. Semoga butir-butir ini dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran bersama dalam rangka melibatkan diri dalam gerakan untuk melawan
perusakan keadaban publik dan berperan serta dalam membangunnya kembali menjadi
habitus baru bangsa kita.
Jakarta 11 November 2004
CATATAN
AKHIR:
[1]
Yang dimaksud dengan habitus adalah gugus insting, baik individual
maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara
memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau
kelompok. Kadang-kadang kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi watak. Sementara itu kata watak juga menterjemahkan kata karakter
yang berarti keseluruhan keadaan dan cara bertindak terhadap suatu
rangsangan. Watak terus berkembang dalam masa kehidupan seseorang. Watak
berkaitan erat dengan fungsi saraf pusat. Watak juga dipengaruhi oleh faktor
eksogen, seperti lingkungan, pengalaman dan pendidikan. Lihat Dr. Hubertus
Kasan Hidayat, DSJ, Gangguan Kepribadian Dan Perilaku Masa Dewasa. Catatan
Kuliah Ilmu Kedokteran
Jiwa, Jakarta 1998, hlm 1.
[2]
Konferensi Waligereja Indonesia, Keprihatinan dan Harapan, Jakarta, 1997
[3]
Id., Tekun Dan Bertahan Dalam Pengharapan, Jakarta, 2001, no. 3
[4]
Id., Keadilan Sosial Bagi Semua, Jakarta, 2003, no. 5
[5]
Transparency Internasional, adalah organisasi non-pemerintah internasional
untuk pemberantasan korupsi, dan mempersatukan masyarakat warga, bisnis dan
pemerintah-pemerintah dalam koalisi global yang amat kuat. Lembaga ini berpusat
di Berlin, Jerman.
[6]
Bdk. Ikrar Nusa Bhakti, (ed.), Militer Dan Politik Kekerasan Ordo Baru.
Hasil Penelitian Tim LIPI, Jakarta, 2001
[7]
Baca misalnya Mzm 12;52;55;58;82
[8]
Bdk Paus Paulus VI, Ensiklik Octogesima Adveniens, 14 Mei 1971, no.
26-35
[9]
Prefasi Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi
Pastoral Tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini, no 39
[10]
Bdk John Prior, SVD, “Menemukan Kembali Landasan Moral Masyarakat Majemuk”, dlm
Etos Dan Moralitas Politik : Seni Pengabdian Untuk Kesejahteraan Umnum, Yogyakarta,
2004, hlm 164-165.
[11]
Bdk Paus Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem In Terris, 11 April 1963, no
36-37
Sumber: http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=1198
No comments:
Post a Comment