NOTA PASTORAL KWI
2003
NOTA PASTORAL
SIDANG KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
3-13 NOVEMBER 2003
NOTA PASTORAL
SIDANG KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
3-13 NOVEMBER 2003
KEADILAN SOSIAL BAGI SEMUA
Pengantar
1. Pada
tanggal 3 - 13 November 2003 para Uskup dari seluruh Indonesia berkumpul
dalam Sidang Tahunan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Dalam kegembiraan
dan harapan, keprihatinan dan kecemasan, para Uskup saling bertukar pikiran dan
berbagi pengalaman mengenai salah satu cita-cita bangsa yang terumus dalam sila
kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Karena
bidang ini amat luas, maka pembahasan dipusatkan pada keadilan dalam aspek
sosial politiknya. Segi ini dinilai paling sesuai dengan tuntutan keadaan saat
ini.
2. Para Uskup tidak bekerja sendiri. Nota Pastoral ini disusun dengan
keterlibatan aktif kaum awam, baik sebagai narasumber dalam sidang maupun lewat
tanggapan-tanggapan terhadap naskah awalnya.
3. Melalui Nota Pastoral ini mau disampaikan hasil-hasil pengamatan dan
pembelajaran bersama yang dijalankan oleh para Uskup. Kiranya umat dapat
menggunakan gagasan-gagasan ini sebagai bahan pembelajaran bersama dalam
kelompok-kelompok. Melalui proses ini, diharapkan agar umat akan terbantu untuk
menentukan sikap yang benar serta pilihan yang tepat, termasuk pilihan-pilihan
politik.
4. Nota Pastoral ini dibangun menurut pola yang lazim disebut Lingkaran
Pastoral, suatu bentuk proses pembelajaran yang berlangsung melalui
langkah-langkah berikut ini: pertama-tama disajikan gambaran yang mencerminkan
keadaan hidup sosial-politik di Indonesia. Selanjutnya cerminan itu ditelaah
melalui kacamata ilmu-ilmu sosial, dilanjutkan dengan telaah dari sudut pandang
etika politik dan perspektif pastoral. Pembicaraan tidak berhenti pada wacana,
tetapi sampai pada hal-hal nyata yang sungguh-sungguh akan dikerjakan.
Masalah dan Keprihatinan
dalam Sidang Tahunan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Dalam kegembiraan
dan harapan, keprihatinan dan kecemasan, para Uskup saling bertukar pikiran dan
berbagi pengalaman mengenai salah satu cita-cita bangsa yang terumus dalam sila
kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Karena
bidang ini amat luas, maka pembahasan dipusatkan pada keadilan dalam aspek
sosial politiknya. Segi ini dinilai paling sesuai dengan tuntutan keadaan saat
ini.
2. Para Uskup tidak bekerja sendiri. Nota Pastoral ini disusun dengan
keterlibatan aktif kaum awam, baik sebagai narasumber dalam sidang maupun lewat
tanggapan-tanggapan terhadap naskah awalnya.
3. Melalui Nota Pastoral ini mau disampaikan hasil-hasil pengamatan dan
pembelajaran bersama yang dijalankan oleh para Uskup. Kiranya umat dapat
menggunakan gagasan-gagasan ini sebagai bahan pembelajaran bersama dalam
kelompok-kelompok. Melalui proses ini, diharapkan agar umat akan terbantu untuk
menentukan sikap yang benar serta pilihan yang tepat, termasuk pilihan-pilihan
politik.
4. Nota Pastoral ini dibangun menurut pola yang lazim disebut Lingkaran
Pastoral, suatu bentuk proses pembelajaran yang berlangsung melalui
langkah-langkah berikut ini: pertama-tama disajikan gambaran yang mencerminkan
keadaan hidup sosial-politik di Indonesia. Selanjutnya cerminan itu ditelaah
melalui kacamata ilmu-ilmu sosial, dilanjutkan dengan telaah dari sudut pandang
etika politik dan perspektif pastoral. Pembicaraan tidak berhenti pada wacana,
tetapi sampai pada hal-hal nyata yang sungguh-sungguh akan dikerjakan.
Masalah dan Keprihatinan
5. Salah satu prasaran dengan tegas menyatakan hancurnya keadaban di Indonesia,
lebih khusus lagi hancurnya keadaban politik. Berbagai masalah yang timbul di
bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan
manusiawi dilihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa. Yang
diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus
diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan pers, kebebasan mengungkapkan
pendapat dan kebebasan berserikat. Tetapi banyak masalah justru menjadi semakin
parah. Salah satu yang amat mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku
politik yang benar dan baik.
6. Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan
bersama. Tugas dan tanggungjawab itu dijalankan dengan berpegang pada
prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan,
solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa
tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tetapi dalam
banyak bidang prinsip-prinsip itu makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh
banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang
punya sumberdaya serta berpengaruh di negeri ini. Yang berlangsung sekarang,
politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan
kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk
memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial
bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat seringkali hanya
digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan
kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan
kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita-cita dan kehendak kelompok lain.
Dalam konteks ini agama menjadi rentan terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama
pun dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Kecenderungan membangun
sekat-sekat menjadi semakin nyata. Dengan demikian pertimbangan kebijakan
politik tidak terarah pada warganegara sebagai subyek hukum. Bangsa hanya
dianggap sebagai kelompok-kelompok kepentingan itu. Politik terasa semakin
menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka
yang memegang kendali pemerintahan serta sumberdaya ekonomi dan mengikis rasa
saling percaya di antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa
bodoh pada banyak orang terutama kaum muda dan kelompok terpelajar.
7. Politik kekuasaan semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan
utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan.
Penegakan hukum juga terabaikan. Akibatnya, kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela di
berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi
daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas
dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN, antara lain karena kurang
tepat saat, laju dan cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari
politik uang. Politik uang yang sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan
alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu
rakyat ditipu, kepercayaan rakyat dikhianati, justru oleh orang-orang yang
mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan
rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak dihormati dan kedaulatan
rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok? Bukankah
dengan demikian kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang? Uang menentukan
segala-galanya dan membusukkan politik. Peraturan perundang-undangan dan aparat
penegak hukum dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang menguasai uang.
Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang
bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan oleh kelompok-kelompok yang
secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang
lanjut usia, orang cacat, kaum miskin. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap
martabat perempuan dalam bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan terus
berlangsung di banyak tempat, dan terus terjadi tanpa sanksi hukum. Selain itu
penipuan terhadap rakyat kecil banyak sekali dilakukan justru oleh orang-orang
yang memahami hukum dan bertanggungjawab untuk menegakkannya.
8. Dengan demikian suasana persaingan antar kelompok dan antar pribadi menjadi
semakin tajam. Suasana itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika
berhadapan dengan perpecahan masyarakat dalam pengelompokan kelas ekonomi.
Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan
tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap
sebagai ancaman yang akan mencelakakan dirinya atau kelompoknya. Perasaan
terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang tidak mampu menciptakan
lapangan kerja baru. Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaharuan. Pembaharuan
terus-menerus menuntut orang menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru
yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi
tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu
memenuhi standar baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi, karena
rendahnya investasi di sektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya
lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya
kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga diri dan dengan mudah membuat
orang yang bersangkutan kehilangan harga diri.
9. Tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong terjadinya kolusi
kepentingan antara para pemilik modal dan pejabat untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh mereka yang hanya
mencari keuntungan sesaat bersama dengan para politisi yang mempunyai
kepentingan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Akibatnya antara lain
pengurasan dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan malapetaka.
Penggusuran yang tidak manusiawi dan menimbulkan banyak penderitaan juga tidak
lepas dari bertemunya kedua kepentingan tersebut.
Mencari Akar Masalah
lebih khusus lagi hancurnya keadaban politik. Berbagai masalah yang timbul di
bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan
manusiawi dilihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa. Yang
diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus
diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan pers, kebebasan mengungkapkan
pendapat dan kebebasan berserikat. Tetapi banyak masalah justru menjadi semakin
parah. Salah satu yang amat mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku
politik yang benar dan baik.
6. Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan
bersama. Tugas dan tanggungjawab itu dijalankan dengan berpegang pada
prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan,
solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa
tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tetapi dalam
banyak bidang prinsip-prinsip itu makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh
banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang
punya sumberdaya serta berpengaruh di negeri ini. Yang berlangsung sekarang,
politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan
kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk
memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial
bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat seringkali hanya
digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan
kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan
kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita-cita dan kehendak kelompok lain.
Dalam konteks ini agama menjadi rentan terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama
pun dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Kecenderungan membangun
sekat-sekat menjadi semakin nyata. Dengan demikian pertimbangan kebijakan
politik tidak terarah pada warganegara sebagai subyek hukum. Bangsa hanya
dianggap sebagai kelompok-kelompok kepentingan itu. Politik terasa semakin
menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka
yang memegang kendali pemerintahan serta sumberdaya ekonomi dan mengikis rasa
saling percaya di antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa
bodoh pada banyak orang terutama kaum muda dan kelompok terpelajar.
7. Politik kekuasaan semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan
utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan.
Penegakan hukum juga terabaikan. Akibatnya, kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela di
berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi
daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas
dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN, antara lain karena kurang
tepat saat, laju dan cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari
politik uang. Politik uang yang sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan
alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu
rakyat ditipu, kepercayaan rakyat dikhianati, justru oleh orang-orang yang
mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan
rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak dihormati dan kedaulatan
rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok? Bukankah
dengan demikian kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang? Uang menentukan
segala-galanya dan membusukkan politik. Peraturan perundang-undangan dan aparat
penegak hukum dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang menguasai uang.
Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang
bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan oleh kelompok-kelompok yang
secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang
lanjut usia, orang cacat, kaum miskin. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap
martabat perempuan dalam bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan terus
berlangsung di banyak tempat, dan terus terjadi tanpa sanksi hukum. Selain itu
penipuan terhadap rakyat kecil banyak sekali dilakukan justru oleh orang-orang
yang memahami hukum dan bertanggungjawab untuk menegakkannya.
8. Dengan demikian suasana persaingan antar kelompok dan antar pribadi menjadi
semakin tajam. Suasana itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika
berhadapan dengan perpecahan masyarakat dalam pengelompokan kelas ekonomi.
Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan
tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap
sebagai ancaman yang akan mencelakakan dirinya atau kelompoknya. Perasaan
terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang tidak mampu menciptakan
lapangan kerja baru. Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaharuan. Pembaharuan
terus-menerus menuntut orang menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru
yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi
tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu
memenuhi standar baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi, karena
rendahnya investasi di sektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya
lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya
kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga diri dan dengan mudah membuat
orang yang bersangkutan kehilangan harga diri.
9. Tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong terjadinya kolusi
kepentingan antara para pemilik modal dan pejabat untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh mereka yang hanya
mencari keuntungan sesaat bersama dengan para politisi yang mempunyai
kepentingan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Akibatnya antara lain
pengurasan dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan malapetaka.
Penggusuran yang tidak manusiawi dan menimbulkan banyak penderitaan juga tidak
lepas dari bertemunya kedua kepentingan tersebut.
Mencari Akar Masalah
10. Keadaan yang memprihatinkan ini, - dalam iman, harapan dan kasih - perlu
dipandang dan diterima sebagai tantangan untuk terus berjuang penuh harapan,
bekerjasama, dan solider membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi
semua. Dalam usaha membangun masa depan itu, perlulah dicari akar-akar
masalahnya.
11. Menurut pendapat kami, akar yang terdalam ialah bahwa iman tidak lagi
menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar
pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian
kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu
akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di
bibir tetapi tidak dilaksanakan secara konkrit. Politik tidak lagi dilihat
sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan
bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaharuan hati serta
budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri.
12. Yang kedua adalah kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan. Kerakusan akan
kekuasaan dan kekayaan ini menjadi daya pendorong politik kepentingan yang amat
mempersempit ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta
warganegara sebagai subyek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Yang dianggap
paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat
sehingga cenderung diterapkan diskriminasi dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan
kata lain manusia hanya dihargai dari manfaatnya, terutama sejauh manfaat
ekonomisnya. Maka dengan mudah mereka yang lemah, yang miskin, yang kumuh
dianggap tidak berguna dan tidak mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan
ini tidak hanya bertentangan dengan martabat manusia, melainkan juga mengikis
solidaritas. Yang berbeda - entah berbeda agama, suku atau perbedaan yang lain -
dianggap menjadi halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara
dimiskinkan hanya menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok. Politik
dagang sapi menjadi bagian manajemen itu dengan akibat melemahnya kehendak
politik dalam penegakan hukum.
13. Yang ketiga yaitu nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri/kelompok bahkan
dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari upaya
memenangkan kepentingan diri dan kelompok. Ini mendorong terjadinya pemusatan
kekuasaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan
kepentingan-kepentingan pihak yang menguasai sumberdaya keuangan, terutama
sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan bersama dan
mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang. Sebaliknya kekuatan finansial
yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang diharapkan menjadi penengah
dalam perbedaan kepentingan ini, justru merupakan bagian dari sistem yang juga
korup ini. Akibatnya politik pun menjadi tidak mandiri lagi. Politik ada di
bawah tekanan kepentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan
operasi-operasi pasar. Apalagi partai-partai politik membutuhkan dana besar
untuk memenangkan Pemilihan Umum. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para
politisi partai banyak yang berpaling kepada para pengusaha untuk meraih
dukungan keuangan. Akibatnya, hukum pasar, sekali lagi menjadi penentunya. Etika
politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar, persaingan yang
tidak terkendali dan janji keuntungan ekonomi.
14. Yang keempat, cara bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala
cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar, karena apa
yang merupakan cara diperlakukan sebagai tujuan. Dalam logika ini, ukuran adalah
hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, teror dan
cara-cara imoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan.
Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak
sedikit pelaku kejahatan politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya
sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai baik dan
buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah.
Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua
itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus
menghasilkan penumpulan hati nurani.
Etika Politik dan Tanggungjawab Politik
15. Berhadapan dengan kenyataan tersebut, cita-cita untuk ikut membangun masa
depan yang lebih baik perlu ditumbuh-kembangkan. Perasaan sebangsa menghidupkan
semangat untuk mencapai tujuan bersama itu. Cita-cita proklamasi, kesepakatan
nasional dan tujuan negara yang terwujud dalam kehendak untuk merdeka serta
perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu, perlu terus-menerus disadari kembali.
Kesepakatan nasional para pendiri negara adalah Pancasila yang merupakan
landasan bersama dalam kehidupan berpolitik. Agar visi etika politik bisa
dilaksanakan dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, dibutuhkan nilai-nilai dan
pemahaman sejarah suatu komunitas. Kesadaran politik yang peduli terhadap etika
tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah komunitas. Penerimaan Pancasila
sebagai landasan politik bernegara tidak hanya menjadi peristiwa politik, tetapi
juga peristiwa moral. Peristiwa itu ditandai dengan usaha setiap kelompok
komponen bangsa untuk mengatasi sekat-sekat agama dan kedaerahan masing-masing.
Ini adalah bentuk kesadaran moral yang merupakan rasa hormat terhadap hak-hak,
nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang disepakati bersama demi kesejahteraan
umum.
16. Pengharapan akan masa depan yang lebih baik juga bertumpu pada warganegara
yang masih mempunyai kehendak baik. Meskipun semakin tampak bahwa politik di
negeri ini dijalankan dengan mengabaikan etika politik, namun masih ada
keinginan besar untuk berubah. Selain itu politik yang tidak beradab serta tidak
adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan
tanggapan balik protes yang akan mengusik setiap warganegara yang peduli akan
penderitaan mereka. Sementara itu pertarungan kekuatan dan pertentangan
kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya
penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam itu tidak akan
terwujud bila tidak mengacu ke etika politik.
Beberapa Prinsip Etika Politik
17. Dengan mempertimbangkan kenyataan sosial-politik di Indonesia,
prinsip-prinsip berikut ini mendesak untuk dilaksanakan:
17. 1. Hormat terhadap martabat manusia. Prinsip ini menegaskan bahwa manusia
mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tak pernah boleh diperalat. Bukankah
manusia diciptakan menurut citra Allah, diperbaharui oleh Yesus Kristus yang
dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia menjadi anak Allah? Istilah SDM
(=Sumber Daya Manusia) yang sering digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran
bahwa nilai manusia tak hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia
Indonesia harus dihargai sepenuhnya dan tak boleh diperalat untuk tujuan apapun,
termasuk tujuan politik.
17. 2. Kebebasan. Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok: bebas dari
segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh.
Setiap warga amat membutuhkan kebebasan dari ancaman dan tekanan, bebas dari
kemiskinan yang membelenggunya, dan juga kebebasan untuk berkembang menjadi
manusia seutuhnya. Kekuasaan negara perlu diingatkan akan salah satu tanggung
jawab utamanya untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan, baik yang
berasal dari sesama warga maupun, dan terutama dari kekuasaan negara.
17. 3. Keadilan. Keadilan merupakan keutamaan yang membuat manusia sanggup
memberikan kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Dewasa
ini perjuangan untuk memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi semakin mendesak
untuk dikedepankan, demikian juga perjuangan untuk melaksanakan fungsi sosial
modal, bagi kesejahteraan bersama. Mendesak juga penggunaan modal untuk
pengembangan sektor ekonomi riil, sambil menemukan cara-cara agar judi ekonomi
dalam bentuk spekulasi keuangan dikontrol untuk mendukung bertumbuh dan
berkembangnya wirausaha-wirausaha kecil dan menengah, menciptakan lembaga dan
hukum-hukum yang adil. Yang tidak kalah mendesak adalah penegakan hukum.
17. 4. Solidaritas. Dalam tradisi Indonesia sikap solider terungkap dalam
semangat gotong royong dan kekeluargaan yang menurut pepatah lama berbunyi
ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Nilai solidaritas semakin mendesak
untuk diwujudkan dalam konteks dunia modern. Untuk masyarakat di mana banyak
orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri pada
pihak korban ketidakadilan, termasuk ketidakadilan struktural. Selain itu perlu
dikembangkan juga solidaritas antar-daerah dan usaha untuk mencegah kesempitan
egoisme kelompok.
17. 5. Subsidiaritas. Menjalankan prinsip subsidiaritas berarti menghargai
kemampuan setiap manusia, baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan
usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu seperlunya. Bila
kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang dimiliki bisa
menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelompok yang lebih besar atau
pemerintah/negara tidak perlu campur tangan. Dalam keadaan kita sekarang
hubungan subsidier berarti menciptakan relasi baru antara pusat dan daerah dalam
hal pembagian tanggung jawab dan wewenang, hubungan kemitraan dan kesetaraan
antara pemerintah, organisasi-organisasi sosial dan warga negara, kerja sama
serasi antara pemerintah dan swasta. Kecenderungan etatisme yang menonjol dalam
Rencana Undang Undang yang disebarkan di masyarakat dan Undang Undang yang
disyahkan oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) akhir-akhir
ini berlawanan dengan prinsip subsidiaritas ini.
17. 6. Fairness. Prinsip fairness atau sikap fair tidak mudah diungkapkan dalam
bahasa Indonesia. Prinsip fairness menjamin terciptanya aturan yang adil dan
sikap taat padanya; dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik; dijaganya
pembedaan wilayah privat dari wilayah publik; disadari dan dilaksanakannya
kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan
dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
17. 7. Demokrasi. Dalam sistem demokrasi kedaulatan rakyat berada di tangan
rakyat. Demokrasi sebagai sistem, tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan,
melainkan juga hidup ekonomi, sosial dan kultural. Dalam arti itu, demokrasi
dimengerti sebagai cara-cara pengorganisasian kehidupan bersama yang paling
mencerminkan kehendak umum dengan tekanan pada peran serta, perwakilan dan
tanggung jawab. Demokrasi tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang
diharapkan. Di Indonesia salah satu badan yang paling terlibat dalam pelaksanaan
demokrasi ialah DPR RI dan DPRD. Sesudah Pemilihan Umum 2004 nanti, akan muncul
lembaga baru yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Ternyata lembaga-lembaga itu
kurang berfungsi dalam mewakili kepentingan masyarakat luas, bahkan dalam banyak
hal, justru menghambat tercapainya tujuan demokrasi. Dalam masyarakat kita
tampak kecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok minoritas dengan
alasan-alasan yang kurang terpuji. Keputusan yang menyangkut semua warga negara
diambil sekedar atas dasar suara mayoritas, dengan mengabaikan
pertimbangan-pertimbangan yang mendasar, matang dan berjangka panjang.
17. 8. Tanggung jawab. Bertanggung-jawab berarti mempunyai komitmen penuh
pengabdian dalam pelaksanaan tugas. Tanggung jawab atas disertai dengan tanggung
jawab kepada. Bagi politisi tanggung jawab berarti kinerja yang sebaik-baiknya
demi tercapainya tujuan negara, dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu
kepada rakyat. Tanggung jawab hanya bisa dituntut bila kebijakan umum pemerintah
terumus jelas dalam hal prioritas, program, metode dan pendasaran filosofisnya.
Atas dasar kebijakan umum ini wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa
membuat evaluasi pelaksanaan kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban.
Bagi warganegara, tanggung jawab berarti berperan serta dalam mewujudkan tujuan
negara sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Pemilihan Umum
18.
Pemilihan Umum 2004 sudah di ambang pintu. Pada waktunya, Konferensi
Waligereja Indonesia akan mengeluarkan Surat Gembala khusus mengenai Pemilihan
Umum 2004. Hak pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara hendaknya digunakan
untuk ambil bagian dalam menentukan arah kehidupan bersama yang demokratis.
Sikap kritis dalam menentukan pilihan akan memberi bobot terhadap proses
demokrasi yang akan dilaksanakan. Dengan itu diharapkan keputusan-keputusan yang
menentukan kehidupan bersama akan diambil berdasarkan pada pertimbangan publik
yang luas. Demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan
membuat pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan
warganegara dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk
pemberantasan KKN. Pemilihan Umum diharapkan akan menghasilkan wakil rakyat dan
pemimpin yang mempunyai visi, peduli terhadap penderitaan dan peka akan kehendak
dan kebutuhan rakyat, mempunyai komitmen terhadap perbaikan nasib rakyat yang
dicerminkan dalam hidup sederhana. Pemilihan Umum adalah kesempatan penting
untuk melakukan pendidikan politik bagi seluruh warga negara.
19. Pemilihan Umum adalah suatu perangkat demokrasi, dengan demikian merupakan
hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan kita bersama, maka kita
wajib berperan serta. Peran serta itu tidak terbatas pada saat Pemilihan Umum
saja, melainkan juga pada seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan segala pertimbangan di atas, hal-hal berikut perlu
diperhatikan:
19.1. Pertama, perlu disadari dan ditekankan bahwa melalui peristiwa Pemilihan
Umum hak asasi manusia setiap warga negara di bidang politik, diwujudkan. Oleh
karena itu baik keikutsertaan maupun penolakan dalam Pemilihan Umum dapat
menjadi ungkapan tanggung jawab politik. Pemilihan Umum pada dasarnya adalah
bagi rakyat untuk membuat suatu kontrak politik dengan politisi dalam lembaga
legislatif maupun mengoreksinya. Keinginan dan cita-cita perubahan serta
perbaikan dapat ditempuh antara lain dengan memperbaharui dan mengubah susunan
para penyelenggara negara kita. Sistem Pemilihan Umum yang baru membuka peluang
untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan itu, dengan memilih
orang-orang yang paling tepat, yakni orang-orang yang dapat diharapkan memenuhi
tuntutan etika politik.
19.2. Kedua, perlu disadari bahwa undang-undang Pemilihan Umum yang baru dan
pelaksanaannya adalah sulit dan bisa membingungkan bagi kebanyakan orang. Karena
itu perlu dibentuk kelompok penyuluh pada tataran akar-rumput yang mendampingi
masyarakat akar-rumput agar mereka dapat memilih dan mengungkapkan pilihan
politik mereka dengan benar dan baik. Calon-calon wakil rakyat yang dikenal
bersih, berjuang untuk kepentingan dan kebaikan bersama perlu diperkenalkan
kepada para pemilih. Dalam sistem Pemililihan Umum yang baru, pemilih mendapat
kesempatan untuk memberikan suaranya untuk calon wakil yang dikenal memenuhi
syarat sebagai calon yang baik dan juga partai asal calon tersebut.
19.3. Ketiga, masyarakat perlu didorong untuk terus-menerus mengontrol mekanisme
demokrasi supaya aspirasi rakyat sungguh mendapat tempat. Sistem perwakilan yang
menjadi tata cara pengambilan keputusan ternyata sering meninggalkan aspirasi
warga negara yang diwakili. Hal ini bisa disebabkan karena para politisi wakil
rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan atau nilai sendiri.
Mereka juga tidak jarang melakukan tindakan yang tidak semuanya dapat diamati
dan dipantau oleh rakyat banyak. Selain itu tidak sedikit dari antara para
politisi yang ingin terpilih karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh
keuntungan.
Penutup
20. Demikianlah butir-butir pemikiran yang berkembang dalam Sidang KWI pada
bulan November 2003. Sidang KWI percaya masih ada banyak pribadi atau lembaga
yang sungguh-sungguh berjuang untuk kebaikan bersama dan masa depan bangsa yang
lebih baik. Pada masa-masa seperti sekarang ini, kerjasama antara semua pihak
yang berkehendak baik terus-menerus harus diusahakan dengan tekun.
21. Pada kesempatan ini disampaikan himbauan, agar siapa saja yang berada pada
posisi sosial yang berkuasa dan menyebabkan penderitaan bagi banyak orang
hendaknya mengubah perilaku. Perubahan perilaku ini tidak hanya berarti mengakui
dan memperbaiki kesalahan, melainkan juga berupaya sekuat tenaga untuk
menghentikan berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang diderita bangsa
kita, serta membaktikan diri demi kesejahteraan bersama yang dilandaskan pada
kebenaran dan keadilan. Sementara itu, siapa saja yang menjadi korban berbagai
macam bentuk ketidakadilan yang terjadi selama ini, hendaknya tetap tabah dan
berpegang pada keyakinan bahwa kita adalah anak-anak Allah yang bermartabat
luhur. Korban janganlah terpaku pada masa lampau, melainkan menurut teladan dan
ajaran Yesus, bersedia mengampuni mereka yang mengakui kebenaran dan
kesalahannya, bersatu dan berjuang bersama demi keadilan dan perdamaian. Dalam
semuanya ini yang harus dipegang adalah prinsip kebenaran, keadilan dan
rekonsiliasi.
22. Semoga butir-butir perenungan ini, seperti dikatakan dalam pengantar, dapat
digunakan sebagai bahan untuk pembelajaran bersama dalam rangka mengambil sikap
dan keputusan, baik pribadi maupun bersama, sesuai dengan hati nurani.
Jakarta, Desember 2003
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
Waligereja Indonesia akan mengeluarkan Surat Gembala khusus mengenai Pemilihan
Umum 2004. Hak pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara hendaknya digunakan
untuk ambil bagian dalam menentukan arah kehidupan bersama yang demokratis.
Sikap kritis dalam menentukan pilihan akan memberi bobot terhadap proses
demokrasi yang akan dilaksanakan. Dengan itu diharapkan keputusan-keputusan yang
menentukan kehidupan bersama akan diambil berdasarkan pada pertimbangan publik
yang luas. Demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan
membuat pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan
warganegara dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk
pemberantasan KKN. Pemilihan Umum diharapkan akan menghasilkan wakil rakyat dan
pemimpin yang mempunyai visi, peduli terhadap penderitaan dan peka akan kehendak
dan kebutuhan rakyat, mempunyai komitmen terhadap perbaikan nasib rakyat yang
dicerminkan dalam hidup sederhana. Pemilihan Umum adalah kesempatan penting
untuk melakukan pendidikan politik bagi seluruh warga negara.
19. Pemilihan Umum adalah suatu perangkat demokrasi, dengan demikian merupakan
hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan kita bersama, maka kita
wajib berperan serta. Peran serta itu tidak terbatas pada saat Pemilihan Umum
saja, melainkan juga pada seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan segala pertimbangan di atas, hal-hal berikut perlu
diperhatikan:
19.1. Pertama, perlu disadari dan ditekankan bahwa melalui peristiwa Pemilihan
Umum hak asasi manusia setiap warga negara di bidang politik, diwujudkan. Oleh
karena itu baik keikutsertaan maupun penolakan dalam Pemilihan Umum dapat
menjadi ungkapan tanggung jawab politik. Pemilihan Umum pada dasarnya adalah
bagi rakyat untuk membuat suatu kontrak politik dengan politisi dalam lembaga
legislatif maupun mengoreksinya. Keinginan dan cita-cita perubahan serta
perbaikan dapat ditempuh antara lain dengan memperbaharui dan mengubah susunan
para penyelenggara negara kita. Sistem Pemilihan Umum yang baru membuka peluang
untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan itu, dengan memilih
orang-orang yang paling tepat, yakni orang-orang yang dapat diharapkan memenuhi
tuntutan etika politik.
19.2. Kedua, perlu disadari bahwa undang-undang Pemilihan Umum yang baru dan
pelaksanaannya adalah sulit dan bisa membingungkan bagi kebanyakan orang. Karena
itu perlu dibentuk kelompok penyuluh pada tataran akar-rumput yang mendampingi
masyarakat akar-rumput agar mereka dapat memilih dan mengungkapkan pilihan
politik mereka dengan benar dan baik. Calon-calon wakil rakyat yang dikenal
bersih, berjuang untuk kepentingan dan kebaikan bersama perlu diperkenalkan
kepada para pemilih. Dalam sistem Pemililihan Umum yang baru, pemilih mendapat
kesempatan untuk memberikan suaranya untuk calon wakil yang dikenal memenuhi
syarat sebagai calon yang baik dan juga partai asal calon tersebut.
19.3. Ketiga, masyarakat perlu didorong untuk terus-menerus mengontrol mekanisme
demokrasi supaya aspirasi rakyat sungguh mendapat tempat. Sistem perwakilan yang
menjadi tata cara pengambilan keputusan ternyata sering meninggalkan aspirasi
warga negara yang diwakili. Hal ini bisa disebabkan karena para politisi wakil
rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan atau nilai sendiri.
Mereka juga tidak jarang melakukan tindakan yang tidak semuanya dapat diamati
dan dipantau oleh rakyat banyak. Selain itu tidak sedikit dari antara para
politisi yang ingin terpilih karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh
keuntungan.
Penutup
20. Demikianlah butir-butir pemikiran yang berkembang dalam Sidang KWI pada
bulan November 2003. Sidang KWI percaya masih ada banyak pribadi atau lembaga
yang sungguh-sungguh berjuang untuk kebaikan bersama dan masa depan bangsa yang
lebih baik. Pada masa-masa seperti sekarang ini, kerjasama antara semua pihak
yang berkehendak baik terus-menerus harus diusahakan dengan tekun.
21. Pada kesempatan ini disampaikan himbauan, agar siapa saja yang berada pada
posisi sosial yang berkuasa dan menyebabkan penderitaan bagi banyak orang
hendaknya mengubah perilaku. Perubahan perilaku ini tidak hanya berarti mengakui
dan memperbaiki kesalahan, melainkan juga berupaya sekuat tenaga untuk
menghentikan berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang diderita bangsa
kita, serta membaktikan diri demi kesejahteraan bersama yang dilandaskan pada
kebenaran dan keadilan. Sementara itu, siapa saja yang menjadi korban berbagai
macam bentuk ketidakadilan yang terjadi selama ini, hendaknya tetap tabah dan
berpegang pada keyakinan bahwa kita adalah anak-anak Allah yang bermartabat
luhur. Korban janganlah terpaku pada masa lampau, melainkan menurut teladan dan
ajaran Yesus, bersedia mengampuni mereka yang mengakui kebenaran dan
kesalahannya, bersatu dan berjuang bersama demi keadilan dan perdamaian. Dalam
semuanya ini yang harus dipegang adalah prinsip kebenaran, keadilan dan
rekonsiliasi.
22. Semoga butir-butir perenungan ini, seperti dikatakan dalam pengantar, dapat
digunakan sebagai bahan untuk pembelajaran bersama dalam rangka mengambil sikap
dan keputusan, baik pribadi maupun bersama, sesuai dengan hati nurani.
Jakarta, Desember 2003
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ
Ketua
Mgr. Ignatius Suharyo, Pr
Sekretaris Jendral
No comments:
Post a Comment