Nota Pastoral KWI 2006
HABITUS BARU: EKONOMI YANG BERKEADILAN
Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi
I. PENGANTAR
1. Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2006 berjudul HABITUS
BARU: EKONOMI YANG BERKEADILAN - Keadilan Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi.
Nota Pastoral ini disusun sebagai kelanjutan Nota Pastoral 2003 yang berjudul
Keadilan Sosial bagi Semua dan Nota Pastoral 2004 yang berjudul Keadaban
Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan
Sosio-Budaya.
2. Iman mendorong
kami, para Waligereja Indonesia, untuk ikut aktif mengupayakan tata ekonomi
yang adil dan yang sangat menentukan terwujudnya masyarakat yang manusiawi dan
bermartabat. Menyadari bahwa kami bukan ahli ekonomi, masukan dari para
narasumber ahli sangat kami perhatikan.
3. Melalui Nota Pastoral ini kami bermaksud menyampaikan hasil pembelajaran
selama hari-hari refleksi Sidang KWI 2006. Kami berharap agar segenap umat
Katolik Indonesia menjadikan Nota Pastoral 2006 ini sebagai bahan penting
proses pembelajaran dan penghayatan iman dalam dimensi sosial-ekonomi.
Selanjutnya, atas dasar proses pembelajaran itu diharapkan kelompok-kelompok
umat basis dalam kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik melangkah
bersama menjadi pelopor dan penggerak berbagai usaha ekonomi berkeadilan yang
menyejahterakan lingkungan sekitarnya.
4. Istilah 'ekonomi', yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada
hakikatnya berarti 'tata pengelolaan rumahtangga'. Tata-kelola itu diperlukan
agar kesejahteraan setiap rumahtangga tercapai. Sebagai tata-kelola, istilah
'ekonomi' menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk
kebutuhan hidup. Karena sumberdaya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup
sangat banyak, istilah 'ekonomi' menyangkut seni-memilih secara bijak antara
banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di lain
pihak. Tujuan 'ekonomi' adalah kesejahteraan bersama. Dalam perkembangannya,
tatkala lingkup 'rumahtangga' diperluas menjadi 'negara-bangsa', ekonomi
kemudian juga berarti seni-mengelola sumberdaya yang dimiliki negara-bangsa
untuk tujuan kesejahteraan bersama.
5. Indonesia adalah
"rumahtangga" kita. Kita sebagai bangsa menghuni wilayah yang sangat
luas, dengan keadaan geografis yang strategis dan kekayaan alam yang
berlimpah-ruah. Tetapi sangat ironis, negeri kita yang kaya-raya akan
sumberdaya alam ini masih memiliki banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan.
Ironi itu tidak hanya menunjukkan bahwa kesejahteraan bersama masih jauh dari
kenyataan, tetapi juga bahwa 'ekonomi' sebagai seni-mengelola kesejahteraan
bersama masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masalah ini menjadi tantangan
besar bagi kita. Nota Pastoral 2006 ini mengajak seluruh umat untuk mencermati
gejala kesenjangan itu dalam rangka mencari jalan bagaimana kegiatan ekonomi
dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia.
6. Sebagaimana yang ditempuh dalam perumusan dua Nota Pastoral sebelumnya, dan
dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005, langkah-langkah yang
melahirkan Nota Pastoral ini berlangsung melalui pola refleksi Lingkaran Pastoral.
Pertama, melihat kondisi Indonesia. Dari kondisi
Indonesia itu dirumuskan secara khusus 'Masalah Sosio-Ekonomi'.
Kedua, 'Masalah Sosio-Ekonomi' itu kemudian dipahami serta diartikan
dalam terang iman, dan dari situ kami menentukan 'Tanggapan Pastoral'.
Ketiga, 'Tanggapan Pastoral' tersebut dicermati
kembali guna menentukan arah 'Gerakan Sosio-Ekonomi'.
Keempat, berdasarkan arah 'Gerakan Sosio-Ekonomi' itu lalu ditentukan
rancangan gerakan yang hendak diupayakan untuk memperbaiki keadaan hidup
bersama di Indonesia melalui usaha sosio-ekonomi.
II. WAJAH MASALAH
SOSIO-EKONOMI DI INDONESIA
7. Bagi kami, kutipan
pembuka Doa Syukur Agung Gereja berikut ini secara sangat tepat melukiskan
keadaan bumi Indonesia tempat kita hidup bersama dan mengabdi. "... Engkau
memperkenankan kami hidup di bumi Indonesia, di tengah pulau-pulau dan lautan
biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kaya-raya akan
sumber-sumber alam ... untuk mengolah sawah dan ladang, mengelola alam tanpa
merusak lingkungan, memanfaatkan lautan yang kaya, membangun kota dan desa,
serta menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur, aman dan sentosa
..."[i] Kutipan itu juga menuntun kita bagaimana mencapai hari depan yang
lebih adil dan makmur, aman dan sentosa. Bumi Indonesia adalah sebuah
"benua maritim", yang menyediakan dan menawarkan sumberdaya yang
dapat dimanfaatkan serta dikelola secara bijaksana sebagai sumber nafkah,
protein, dan energi. Selain sumberdaya kelautan, daratan Indonesia juga
menyediakan kekayaan alam lain yang melimpah. Penduduk yang berjumlah lebih
dari 220 juta orang, dengan latar-belakang budaya yang beragam, dapat membentuk
daya besar untuk mengembangkan negeri ini menjadi taman yang menghadirkan
kesejahteraan bersama.

8. Meskipun kita hidup di tengah kelimpahan sumberdaya alam, sampai hari ini
kita menyaksikan kondisi kehidupan ekonomi begitu banyak warganegara yang masih
sangat memprihatinkan. Kemiskinan adalah kenyataan hidup begitu banyak warga.
Sampai bulan Februari 2005, misalnya, sebanyak 35,10 juta sesama warganegara
(15,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia) menderita kemiskinan. Jumlah itu
meningkat menjadi 39,05 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006.[ii] Namun
jumlah itu terdiri dari kaum miskin yang hidup dengan biaya di bawah sekitar Rp
14.000,- per hari/per orang. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya hidup di
bawah sekitar Rp 18.000,- per hari/per orang, jumlah orang miskin di Indonesia
membengkak menjadi 108,78 juta, atau sekitar 49 persen dari penduduk
Indonesia.[iii] Upaya yang ditempuh melalui kebijakan pemerintah untuk
mengatasi masalah kemiskinan belum menunjukkan kemajuan. Dari waktu ke waktu
diumumkan kepada kita kebutuhan mendesak akan investasi. Namun pernyat aan itu
lebih memberikan perhatian pada investasi berskala besar, sedangkan usaha-usaha
ekonomi skala kecil dan mikro yang menyangkut hidup bagian terbesar warga biasa
justru kurang diperhatikan. Perhatian kepada para investor berskala besar
memang perlu. Akan tetapi, di tengah lautan kemiskinan di Indonesia, kebijakan
ekonomi seperti itu mudah membawa risiko lebih besar. Yang terjadi bukan
pengentasan warga biasa dari kemiskinan, melainkan ketergantungan semakin besar
pada sumberdaya yang bukan bagian dari kehidupan ekonomi rakyat biasa. Dalam
corak globalisasi ekonomi yang berlangsung dewasa ini, arah kebijakan seperti
itu dengan mudah dapat membuat cita-cita kesejahteraan bersama justru semakin
terlepas dari potensi ekonomi warga biasa.
9. Sumberdaya produktif rakyat kebanyakan yang berupa lahan basah, lahan kering
dan hutan juga mengalami penciutan dari tahun ke tahun. Sebagian sumberdaya
ekonomi rakyat itu begitu mudah berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan besar
dan sentra-sentra komersial di tangan perusahaan-perusahaan berskala besar yang
lebih memupuk budaya konsumeris. Keadaan rakyat miskin dan lemah yang sudah
rentan semakin diperparah oleh musibah demi musibah berupa bencana alam seperti
banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan, yang kebanyakan disebabkan oleh ulah
manusia sendiri.[iv] Akibatnya sangat mengerikan, karena hal itu merusak
lingkungan hidup dan sumber nafkah rakyat kebanyakan.
10. Selain itu, di tengah kemunduran sektor ekonomi yang secara langsung
terkait dengan kebutuhan riil masyarakat luas, kegiatan-kegiatan spekulasi
keuangan yang samasekali tidak punya kaitan apapun dengan kinerja sektor
ekonomi riil justru kian marak. Dalam suasana itu masalah pengangguran semakin
memprihatinkan. Dari tahun ke tahun daya serap usaha-usaha berskala besar atas
tenaga kerja - yang dianggap sebagai resep untuk mengatasi masalah pengangguran
- terus mengalami penurunan, dengan akibat jumlah penganggur malah meningkat. Meningkatnya
angka pengangguran juga terkait erat dengan rendahnya tingkat pendidikan.
Keadaan menjadi semakin parah, karena bukan hanya jumlah kaum miskin bertambah,
tetapi juga akibat-akibat buruk lainnya meningkat, seperti putus sekolah,
kejahatan, gizi buruk dan busung lapar.
11. Dampak kemiskinan tidak hanya ditanggung sesaat, tetapi terbawa jauh ke
masa depan. Dampak itu ditanggung oleh kelompok-kelompok yang paling lemah,
terutama anak-anak dan perempuan. Perempuan yang kurang gizi dan bergizi buruk
akan melahirkan bayi yang tidak sehat pula. Di tahun 2005, jumlah bayi yang
lahir dengan kondisi berat badan rendah karena kurang gizi, misalnya, mencapai
350.000, sedangkan bayi di bawah lima tahun (balita) yang menderita busung
lapar sebanyak 1,67 juta.[v] Jumlah balita penderita busung lapar itu meningkat
menjadi 2,3 juta pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama jumlah kematian ibu
yang melahirkan adalah 307 per 100.000 kelahiran. Itu berarti, di Indonesia
dalam setiap 1 jam terdapat 2 ibu meninggal ketika sedang bersalin. Angka itu
tiga kali lebih tinggi dari angka kematian ibu di Vietnam, dan enam kali lebih
tinggi dari angka kematian ibu di Malaysia dan Cina.[vi]
12. Wajah kemiskinan
yang begitu telanjang itu hadir berdampingan dengan penumpukan kekayaan
sekelompok orang yang memamerkannya tanpa kepedulian. Sementara sebagian besar
rakyat masih serba berkekurangan dalam mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari,
sekelompok orang, termasuk di daerah tertinggal, hidup dalam suasana kelimpahan
dan kemewahan. Kesenjangan itu merupakan potret nyata sebuah bangsa yang telah
kehilangan kepedulian pada cita-cita kesejahteraan bersama.
13. Dalam keadaan itu, tidak sedikit pihak dari kalangan legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif malah mengingkari mandat yang diterimanya untuk memperjuangkan
kesejahteraan rakyat. Sikap seperti itu bertolak-belakang dengan yang
ditunjukkan oleh Eduard Douwes Dekker (1820-1887), seorang pegawai pemerintah
kolonial yang berani menyuarakan sikapnya dengan menulis kisah penderitaan para
buruh-tanpa-upah yang diperas.[vii] Keberaniannya mengungkapkan penderitaan
para buruh itu antara lain telah menggerakkan suatu perubahan dalam politik
kolonial. Kondisi kemiskinan di Indonesia hanya dapat diubah apabila kita
bersama-sama mempunyai kepedulian dan mengusahakannya.
III. ANALISIS
SOSIO-EKONOMI
Beberapa Sebab Pokok
Masalah
14. Potret buram
kondisi sosial-ekonomi yang ditandai oleh kesenjangan sangat tajam itu tentu
disebabkan oleh banyak faktor. Dalam keterkaitan satu sama lain, beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Komersialisasi yang semakin meluas. Untuk mendapatkan barang dan jasa
kebutuhan hidup, manusia menciptakan cara efektif pertukaran atau perdagangan,
yang kemudian memunculkan 'mekanisme pasar'. Mekanisme pasar diterapkan
dalam pengadaan berbagai barang dan jasa, tetapi tidak semua. Banyak kebutuhan
dasar yang menyangkut kelangsungan hidup bersama, seperti kesehatan dan
pendidikan, tetap dijaga sebagai milik bersama. Yang menggelisahkan adalah
bahwa dewasa ini tengah berlangsung kecenderungan kuat untuk menerapkan
mekanisme pasar itu ke semua bidang kehidupan. Kami sadar bahwa banyak faktor pro dan contra terlibat dalam
kecenderungan ini. Namun kami juga sadar, penerapan prinsip pasar ke semua
bidang kehidupan cenderung menyingkirkan begitu banyak orang. Dalam mekanisme
pasar, berlaku prinsip berikut ini: hak seseorang atas barang/jasa kebutuhan
hidup ditentukan oleh daya-beli. Karena itu, semakin seseorang mempunyai uang,
semakin ia dianggap lebih "berhak" atas b arang/jasa tersebut.
Sebaliknya, semakin seseorang tidak mempunyai uang, semakin ia dianggap
"tidak berhak" bahkan atas kebutuhan hidup yang paling mendasar,
seperti makanan dan kesehatan. Mekanisme pasar mempunyai kekuatan dalam
bidangnya sendiri. Namun kekuatan mekanisme pasar itu dengan mudah justru
hilang ketika diterapkan secara membabi-buta ke semua bidang kehidupan.
Akibatnya, mekanisme pasar tak lagi membantu pencapaian kesejahteraan bersama,
dan bahkan memperkecil kemungkinan terjadinya kesejahteraan bersama. Atau,
seandainya pun terjadi, kesejahteraan hanyalah hasil "tetesan ke
bawah" dari segelintir orang yang kaya dan memiliki daya-beli tinggi. Pada
akhirnya 'ekonomi' tidak lagi terkait dengan cita-cita kesejahteraan bersama,
dan kelompok-kelompok miskin serta lemah menjadi kaum yang paling berat
menanggung dampak negatifnya.
b. Masalah Kebijakan
Publik. Kami sadar bahwa kecenderungan di atas merupakan gejala luas pada skala
global. Dalam kecenderungan itu, dinamika tata hidup bersama semakin tidak lagi
mengejar kesejahteraan bersama sebagai cita-cita utama. Adalah tugas pemerintah
untuk menjaga dan memastikan bahwa kesejahteraan bersama tetap menjadi tujuan
utama hidup berbangsa yang diupayakan dengan sadar dan sengaja. 'Kebijakan
publik' adalah perangkat utama pemerintah untuk mengejar tujuan itu. Tanpa
pemenuhan tugas itu, setiap pemerintah demokratis mengingkari hakikatnya.
Terjadinya potret buram kondisi sosio-ekonomi seperti di atas bukannya tidak
terkait dengan corak kebijakan publik yang menggejala di Indonesia dewasa ini,
terutama karena proses komersialisasi juga telah melanda pembuatan dan
pelaksanaan berbagai kebijakan publik. Akibatnya, mereka yang memiliki
daya-beli tinggi dapat lebih menentukan arah kebijakan publik, sedangkan mereka
yang miskin tidak mempunyai suara apapun atas ara h kebijakan publik. Dengan
itu kebijakan publik lalu kehilangan makna sesungguhnya. Yang menggelisahkan
kita adalah semakin kuatnya kecenderungan kolusi antara mereka yang memiliki
sumberdaya ekonomi besar dan pembuat kebijakan publik. Kaum miskinlah yang
menanggung dampaknya, dengan akibat kesejahteraan bersama semakin jauh dari
kenyataan.
c. Ciri Mendua Globalisasi. Kondisi sosio-ekonomi yang disebut di atas
berlangsung dalam periode sejarah yang sering disebut 'era globalisasi'.
Globalisasi memunculkan harapan baru, tetapi sekaligus melahirkan hambatan baru
bagi pencapaian kesejahteraan bersama; menghadirkan banyak kemudahan, tetapi
juga menimbulkan berbagai kesulitan. Terutama kami melihat bahwa akses pada
kemudahan-kemudahan yang muncul dalam proses globalisasi untuk sebagian besar
ditentukan oleh tingkat daya-beli. Akibatnya, dengan mudah kaum miskin menjadi
kelompok yang paling rentan, sebab kaum miskin adalah mereka yang mempunyai
daya-beli rendah. Selain itu, gejala seperti kemudahan pemutusan hubungan kerja
(PHK) kaum buruh yang kian luas juga sangat terkait dengan kebebasan
keluar-masuk para investor yang semakin tidak terbatas. Kita perlu ramah kepada
para investor. Namun kebijakan ekonomi yang terutama bertumpu pada aliran modal
para investor asing mengandung risiko besar, yaitu hidup-matinya k ebanyakan
warga biasa semakin tergantung pada kemauan pihak lain, dan bukan pada potensi
ekonomi kebanyakan warga biasa sendiri.
d. Kesenjangan Budaya.
Kita mengalami kesenjangan budaya apabila menghayati suatu kebiasaan hidup dan
pola berpikir serta bertindak yang tidak lagi sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Kesenjangan itu tampak terutama dalam orientasi waktu dan orientasi
dalam relasi dengan orang lain. Berkaitan dengan orientasi waktu, misalnya, ada
kebiasaan hidup dan pola berpikir yang terarah pada kepentingan jangka pendek,
dan ada yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Yang dibutuhkan
untuk menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan adalah pola hidup yang terarah pada
kepentingan jangka panjang dan demi kesejahteraan bersama. Sikap-sikap seperti
terungkap dalam kebiasaan menghamburkan sumberdaya ekonomi untuk keperluan
pesta mewah, judi, minum sampai mabuk, korupsi waktu, uang dan jabatan, serta
kemalasan dalam berusaha dan lain sebagainya adalah gejala-gejala kesenjangan
budaya yang sangat memprihatinkan.
Masalah dalam Cara
Berpikir Ekonomi
15. Keempat persoalan
di atas mengisyaratkan bahwa meluasnya gejala kemiskinan di Indonesia terkait
erat dengan proses yang membuat kaum miskin terjebak dalam jerat pemiskinan.
Jerat pemiskinan itu dilanggengkan oleh sejenis cara berpikir dan cara
memandang tertentu yang dominan dalam kegiatan ekonomi dewasa ini. Dalam cara
berpikir ini, kesejahteraan bersama semakin tidak lagi menjadi penuntun
kegiatan ekonomi. Atau, kesejahteraan bersama semakin tidak lagi dilihat
sebagai tujuan yang dikejar secara sadar dan disengaja, tetapi hanya dianggap
sebagai hasil sampingan dari pengejaran kepentingan diri masing-masing orang.
Cara berpikir seperti itu cenderung menyingkirkan kaum miskin, karena
kesejahteraan mereka lalu juga diperlakukan hanya sebagai hasil sampingan dan
belas-kasihan segelintir orang yang berlimpah sumberdaya. Dengan itu ekonomi
juga kehilangan artinya sebagai seni mengelola kesejahteraan bersama.
16. Kami sadar bahwa
kegiatan ekonomi terutama digerakkan oleh prinsip transaksi yang berlangsung
dalam pertukaran atau perdagangan antara pihak-pihak yang sedang memenuhi
kebutuhan diri. Dinamika ekonomi itu berjalan karena digerakkan oleh
pertimbangan kepentingan diri. Setiap orang harus mencukupi kebutuhan diri.
Akan tetapi, cara berpikir dan cara bertindak ekonomi yang meniadakan
solidaritas dan kepedulian pada mereka yang lemah juga kehilangan artinya
sebagai seni mengelola rumahtangga negara-bangsa. Cara berpikir dan cara
bertindak ekonomi yang menyingkirkan pertimbangan kesejahteraan bersama seperti
itu hanya menjadi alat yang dipakai oleh mereka yang kuat untuk menguasai yang
lemah. Oleh karena itu, kami memandang perlunya kita kembali ke asas
'kesejahteraan bersama' (bonum publicum) sebagai penuntun utama cara berpikir
dan cara bertindak ekonomi. Dalam tatanegara, pemerintah adalah badan publik
yang harus menjaga serta memastikan bahwa 'kesejahteraan bersama' dikejar
secara sengaja melalui berbagai kebijakan publik. Namun, supaya kewajiban
pemerintah itu tidak memunculkan kecenderungan otoritarianisme, secara serentak
para pemilik modal, pelaku kegiatan ekonomi lain dan komunitas-komunitas warga juga
harus mengejarnya.
17. Kesejahteraan bersama merupakan salah satu asas terpenting dalam cara
berpikir dan cara bertindak Gereja. Gereja berkehendak setia dan mengusahakan
pelaksanaan asas itu secara sadar dan sengaja, karena Gereja yakin bahwa
kesejahteraan bersama tidak dapat diserahkan kepada proses otomatis kinerja
mekanisme pasar.[viii] Proses otomatis itu tidak pernah terjadi. Dalam usaha
itu, Gereja memandang bahwa kehidupan ekonomi yang tergantung pada kehendak
para pengusaha berskala besar dan inisiatif pemerintah bukanlah arah yang
bijaksana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Komunitas-komunitas warga,
khususnya kelompok miskin, perlu bangkit untuk mengusahakan kesejahteraan
mereka sendiri. Dukungan
dari para pelaku usaha berskala besar dan dari pemerintah tentu diperlukan.
Akan tetapi, dengan atau tanpa dukungan itu, kaum miskin dan lemah harus
bangkit memberdayakan diri. Untuk itu Gereja menganggap dua arah gerakan
berikut ini sebagai penuntun langkah ke depan:
Pertama,
usaha pemberdayaan potensi dan energi kaum miskin dan lemah dengan melibatkan
kaum cerdik-cendekia untuk mencari tata-kelola kehidupan ekonomi yang
benar-benar mewujudkan kesejahteraan bersama.
Kedua,
desakan
kritis kepada pemerintah dan para pelaku ekonomi berskala besar untuk terlibat
lebih aktif dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, dengan perhatian khusus
kepada mereka yang miskin dan lemah, tanpa membuat kaum miskin dan lemah itu
justru semakin tergantung.
18.
Perlu ditegaskan bahwa arah gerakan kita didorong oleh sikap keprihatinan serta
cinta-kasih, dan bukan oleh kebencian. Kita perlu menjalin kerjasama dengan semua orang yang
berkehendak baik dan yang menunjukkan komitmen pada kesejahteraan bersama. Sikap
kritis apapun yang kita ajukan lebih merupakan undangan ke arah keterlibatan
sejati dalam memajukan kesejahteraan bersama. Sikap kritis terhadap mekanisme
pasar, misalnya, bukanlah penolakan terhadap kekuatan kinerja pasar dalam
kegiatan ekonomi, tetapi merupakan upaya koreksi atas kinerja mekanisme pasar
yang cenderung menyingkirkan mereka yang miskin dan berdaya-beli rendah. Begitu
pula sikap kritis kita terhadap kinerja usaha-usaha berskala besar merupakan
undangan agar kinerja ekonomi berskala besar itu lebih terkait secara langsung
dengan jerih-payah kaum miskin.
19. Selain sikap
kritis itu, upaya aktif kita harus diarahkan terutama pada pemberdayaan potensi
dan energi sosio-ekonomi kaum miskin dan lemah itu sendiri. Usaha-usaha ekonomi
kecil dan mikro yang berbasis kerakyatan, seperti keuangan mikro dan usaha
koperasi yang sudah mulai dikembangkan di berbagai daerah, perlu diperluas dan
didukung sepenuhnya. Usaha seperti keuangan mikro dan koperasi kredit ini perlu
ditempuh terutama untuk membantu kaum miskin keluar dari jerat ketergantungan
pada usaha-usaha berskala besar, baik dalam hal pengadaan modal maupun
pemenuhan kebutuhan barang dan jasa. Tentu saja dalam rangka gerakan ini juga
dibutuhkan gerakan lain untuk mendesak agar berbagai kebijakan publik di bidang
ekonomi semakin menempatkan kaum miskin dan lemah sebagai pelaku utama
kehidupan ekonomi di negerinya sendiri.
20. Kita semua
berkehendak untuk terlibat melakukan perubahan atas proses yang telah
menyebabkan gejala ketimpangan ekonomi. Dalam upaya itu, asas kesejahteraan
bersama perlu digunakan sebagai pendekatan. Artinya, asas 'kesejahteraan
bersama' dipakai sebagai prinsip menyusun agenda, memantau pelaksanaan, dan
sebagai tolok-ukur untuk menilai sejauh mana agenda disebut 'sukses' atau
'gagal'. Penggunaan secara terus-menerus asas 'kesejahteraan bersama' sebagai
prinsip penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi ini diharapkan berkembang menjadi
cara berpikir dan cara bertindak baru - ringkasnya, sebagai habitus baru.
Kesejahteraan bersama membutuhkan habitus baru itu. Kami berharap, agar seluruh
warga masyarakat pada akhirnya menyadari bahwa tata ekonomi yang baik berisi
kegiatan ekonomi yang "tertanam dalam-dalam" di dalam arus kehidupan
bersama dan cita-cita kesejahteraan bersama.
IV. MELIHAT
REALITAS DALAM TERANG IMAN
Kembali ke kisah awal
21. Pola berekonomi
yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam
tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan.
Kisah penciptaan menuturkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas bumi dan
memberi bentuk bagi bumi yang masih kacau, kosong, dan tidak teratur.[ix]
Dengan demikian, dunia bukanlah sebuah suasana ketakteraturan. Kitab Suci
mengingatkan kita akan kondisi awal yang dikehendaki Pencipta, yakni
menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya
terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan.[x] Keseimbangan ini perlu
dijaga dan dirawat oleh manusia. Sebagaimana manusia pertama ditempatkan dalam
taman di Eden, kita pun dianugerahi rahmat untuk hidup bersama di tanah-air
kita yang kaya dan indah, agar kita "mengusahakan dan merawat taman"
ini.[xi] Dengan itu kita dapat mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup
kita. Kita juga diberi tanggungjawab serta kesanggupan untu k memperlakukan
manusia sesuai martabatnya, dan merawat serta menjaga seluruh alam dalam
keseimbangan. Berekonomi secara adil merupakan wujud partisipasi kita dalam
karya penciptaan Allah dan panggilan hidup manusia untuk hidup layak "dalam
kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah".[xii]
22. Namun, rumahtangga
ciptaan itu terganggu karena manusia menyalahgunakan kebebasannya. Rumahtangga
bangsa kita pun terancam hancur karena ketidak-seimbangan ekonomi, sosial dan
alam. Sebagai orang beriman, kita mengatakan secara jujur bahwa semua itu
terjadi karena dosa. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus
ditaklukkan. Dia merasa hanya dapat hidup dan maju dengan menghancurkan alam
dan memangsa orang lain, secara khusus orang-orang miskin, kaum perempuan dan
anak-anak.[xiii] Akibatnya, yang kaya memiliki banyak jaminan untuk membentengi
hidupnya, tetapi yang miskin hidup tanpa perlindungan apapun.[xiv]
Solidaritas Allah
memulihkan solidaritas kita
23. Dunia yang telah
diciptakan dalam keteraturan tergoncang oleh pola berekonomi yang tidak adil.
Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai citra Allah direndahkan oleh
keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Alam lingkungan
yang tersedia untuk semua dirusak demi keuntungan sekelompok kecil orang,
walaupun akibat kerusakan itu mesti ditanggung oleh semua orang. Ke dalam
kondisi dunia yang diwarnai oleh ketimpangan ini, Putera Allah datang untuk
tetap menyatakan kasih-Nya kepada manusia. Dengan menjadi manusia, Allah hendak
membebaskan manusia dari keterpenjaraan egoisme-nya. Allah juga bermaksud
memulihkan kepercayaan manusia kepada diri-Nya dan akan sesamanya. Dalam Roh
Allah yang menaungi-Nya, Yesus berbicara tentang pembebasan bagi
"orang-orang tawanan" dan "penglihatan bagi orang-orang
buta".[xv] Allah datang ke dunia, menjadi daging dan "diam di antara
kita",[xvi] agar yang kaya dan berkuasa tidak menjadi tawanan d ari sikap
cinta-diri yang sempit dan buta terhadap kepentingan orang lain dan ciptaan.
Pembebasan itu juga berlaku bagi yang miskin agar tidak tenggelam di dalam
ketidakberdayaan dan buta terhadap peluang-peluang untuk membangun hidup.
24. Yesus tidak
menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang
menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas.[xvii] Allah turut
dimuliakan, apabila kita mengembangkan kekayaan alam dan bakat kita demi
kesejahteraan bersama. Namun Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan
harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara,[xviii] atau malah
menjadikan rumah Tuhan sebagai tempat perdagangan.[xix] Hidup manusia tidak
semata-mata diukur berdasarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Manusia adalah
ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada kebutuhan
ekonomi. Manusia dipanggil untuk "menjadi kaya di hadapan Allah".[xx]
25. Allah datang ke dunia untuk menunjukkan keberpihakan-Nya kepada orang-orang
miskin dan lemah. Ia menguatkan kembali kepercayaan diri mereka agar berjuang
menata kehidupannya. "Janganlah takut, hai kawanan yang kecil, sebab
Bapa-Mu telah berkenan memberikan kamu kerajaan itu".[xxi] Di bawah
tuntunan Roh Allah, Gereja perdana membentuk suatu komunitas iman. Iman kepada
Allah menggerakkan mereka untuk saling percaya. Mereka belajar hidup dari
kekuatan mereka sendiri. Pola hidup dari kekuatan sendiri dan model hidup yang
saling menyejahterakan ini ternyata menarik dan menggerakkan banyak orang lain
untuk menggabungkan diri. "Tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka
dengan orang yang diselamatkan".[xxii]
V. LANGKAH KE DEPAN
Gereja Membarui
Komitmen
26. Gereja dipanggil
mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai oleh berbagai
praktik ketidakadilan, khususnya dalam bidang ekonomi. Harapan ini bukanlah
harapan kosong, tetapi didasarkan pada janji Allah bahwa "Ia yang memulai
pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai akhirnya pada
hari Kristus Yesus".[xxiii]
27. Menyadari kembali
apa yang menjadi tujuan penciptaan dan maksud inkarnasi (penjelmaan), di dalam
bimbingan Roh Kudus Gereja Katolik Indonesia membarui komitmennya untuk
mendorong kerjasama antara badan publik, kekuatan pasar dan komunitas-komunitas
warga guna menciptakan tata-kelola ekonomi yang berkeadilan dan yang menjadikan
kesejahteraan bersama sebagai tujuan utama. Sikap yang perlu ditumbuhkan adalah
pertobatan, metanoia, termasuk di dalam tubuh Gereja sendiri. Gereja menghayati
pertobatannya dengan cara:
Pertama, membarui tekad untuk bersama saudara-saudara yang miskin dan
lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan dan potensi yang
ada, betapa pun kecilnya, tanpa menggantungkan diri pada inisiatif
kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar. Sebagai orang beriman kita memiliki
keyakinan dan harapan bahwa apa yang kecil dapat tumbuh dan mekar menjadi daya
kekuatan yang besar bagi kesejahteraan bersama.
Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan kekuatan ekonomi besar
agar lebih jujur dan seksama dalam mencari jalan untuk membantu kondisi hidup
kaum miskin dan lemah. Keterlibatan mereka hanya bermanfaat apabila mendorong
kemandirian kaum miskin sendiri, dan bukan menciptakan ketergantungan yang
semakin besar. Dengan keterlibatan yang lebih jujur, mereka secara langsung dan
sengaja dapat membantu menciptakan kesejahteraan bersama. Melalui keterlibatan
itu semua potensi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kehidupan
bersama.[xxiv] Asas kesejahteraan umum harus menjadi penuntun, agar manusia
tidak menjadikan keuntungan ekonomi sebagai suatu bentuk penyembahan
berhala,[xxv] yang membelenggu dirinya sendiri, merugikan orang lain serta
merusakkan alam ciptaan. [xxvi]
Ketiga, mendorong serta mendesak para pembuat dan pelaksana kebijakan
publik untuk berubah dari kecenderungan memperdagangkan jabatan dan mandat
rakyat bagi keuntungan sendiri menuju keberanian membuat dan melaksanakan
kebijakan publik yang sungguh-sungguh berpihak kepada kaum miskin dan
kesejahteraan bersama. Dalam keyakinan Gereja, kesejahteraan merupakan hak
setiap orang. Pemerintah serta badan-badan publik lain berkewajiban menjaga dan
memastikan pemenuhan hak tersebut, sebab "keadilan adalah tujuan, dan
karena itu juga merupakan tolok ukur segala kinerja politik".[xxvii]
Keempat, mendorong para cerdik-pandai
untuk aktif terlibat dalam mengkaji kembali dan mengubah gagasan serta
cara-cara berpikir, terutama di bidang ekonomi, yang merugikan kaum miskin dan
lemah. Kajian kritis itu diharapkan menjadi jalan bagi penemuan gagasan, cara
berpikir serta cara bertindak baru yang menempatkan kesejahteraan bersama
sebagai cita-cita utama.
Prinsip-Prinsip
Perekonomian yang Adil
28. Setelah menyatakan
pertobatan dan membarui komitmen, kami menyampaikan beberapa prinsip dasar yang
perlu diperhatikan bersama dalam menentukan langkah ke depan menuju
perekonomian yang adil. Perekonomian yang berkeadilan terarah pada peningkatan
kesejahteraan bersama dan pelestarian seluruh alam ciptaan. Prinsip-prinsip
dasar tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, kesetaraan martabat setiap manusia.
Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi.
Sebaliknya, manusia harus selalu "menjadi subjek, dasar dan tujuan"
dari setiap kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi.[xxviii] Dengan demikian
kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang
miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama.
Kedua, kesejahteraan bersama. Selain mempunyai hak, setiap orang
juga mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama, mengingat ia hanya dapat hidup dalam tata kebersamaan. Tolok-ukur tak
terbantah dari kesejahteraan bersama suatu masyarakat adalah mutu kehidupan
warganya yang paling lemah. Apabila sebagian besar warganya yang paling lemah
masih hidup dalam kemiskinan, masyarakat itu tidak sejahtera.
Ketiga, solidaritas. Solidaritas adalah
kesetiakawanan untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan merancang
jalan keluarnya, melaksanakan dan mengevaluasi menurut tolok-ukur kesejahteraan
bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri
menjadi daya gerak sosial, ekonomi dan politik.
Keempat, subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan, apa yang dapat
dilakukan oleh unit-unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh
unit-unit yang lebih besar. Dengan memperhatikan prinsip ini, kekuatan-kekuatan
ekonomi yang besar tidak mencaplok atau menyingkirkan usaha-usaha ekonomi mikro
dan kecil yang dilakukan oleh kaum miskin dan lemah. Prinsip ini juga mendorong
unit-unit ekonomi yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan
ekonomi yang mandiri.
29. Kesejahteraan
bersama menuntut keadilan. Itu hanya dapat terjadi apabila tata-kelola ekonomi
menghasilkan kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh kebanyakan warga biasa
dalam kepatutannya sebagai manusia. Tata-kelola ekonomi yang baik terungkap
dalam kebijakan ekonomi yang baik. Dan tolok-ukur kebijakan ekonomi yang baik
bukan terutama terletak dalam kemampuannya mendatangkan investasi berskala
besar namun tidak punya kaitan dengan kesejahteraan warga biasa, melainkan
dalam kemampuannya memberdayakan mereka yang miskin dan lemah, serta
membebaskan mereka dari kemiskinan dan proses pemiskinan.
Prioritas dan Beberapa
Langkah Strategis
30. Prioritas gerakan
kita adalah pemberdayaan potensi dan energi ekonomi rakyat. Segala upaya dalam
rupa kebijakan publik serta kerjasama dengan kekuatan ekonomi berskala besar
hanya punya arti apabila diarahkan untuk proses pemberdayaan itu. Sekali lagi,
proses itu tidak boleh mengakibatkan ketergantungan kaum miskin dan lemah pada
kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar maupun pemerintah, tetapi membebaskan
mereka dari ketergantungan. Prioritas ini mendesak, dan untuk itu
beberapa langkah berikut perlu ditempuh.
Pertama,
gerakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat yang miskin, bukan
dengan program dan proses yang membuat mereka semakin tergantung, tetapi
melalui upaya-upaya yang membuat potensi dan energi ekonomi mereka muncul serta
bergerak. Semua pihak perlu melakukan evaluasi sejauh mana sumbangannya
terhadap proses ini sungguh-sungguh membuat kaum miskin semakin berdaya dalam
kehidupan ekonomi.
Kedua,
gerakan untuk memberdayakan kelompok-kelompok khusus di antara kaum miskin,
yang secara ekonomi aktif dan yang mempunyai potensi serta energi untuk
berkembang. Terutama sangat
penting gerakan pemberdayaan melalui pendidikan kewirausahaan dan pembentukan
modal tanpa menggantungkan diri pada kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar
maupun pemerintah.
Ketiga, gerakan pendidikan dan pengadaan modal
secara mandiri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan
sikap saling percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas, inovasi, kualitas
kerja, ketepatan waktu, pola hidup hemat dan sebagainya. Kita dapat bercermin
pada kisah-kisah mereka - baik dari dalam maupun luar negeri - yang
memperjuangkan pemberdayaan kaum miskin.
Keempat, gerakan untuk mendesakkan pengadaan
prasarana sosial ekonomi yang lebih seimbang di Indonesia, dengan memberi
perhatian khusus pada pengembangan berbagai prasarana yang mendorong
perkembangan ekonomi rakyat di daerah-daerah tertinggal.
Kelima, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik
dalam bidang ekonomi, agar semakin memberi perhatian khusus pada usaha
memberdayakan potensi dan energi ekonomi kaum miskin serta lemah.
Keenam, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik,
dengan perhatian khusus pada pelaksanaan tata-kelola yang baik dan pencegahan
korupsi, kolusi serta jual-beli kebijakan publik.
Ketujuh, gerakan bersama mereka yang berkehendak baik
dan semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha, untuk membentuk jaringan
usaha-usaha kecil dan mikro yang melatih serta menghadirkan lapangan kerja bagi
mereka yang tidak trampil dalam masyarakat.
Kedelapan, gerakan untuk melestarikan lingkungan
sebagai upaya ekologis yang tidak boleh diabaikan dalam usaha peningkatan
kesejahteraan ekonomi.
Kesembilan, semua gerakan itu dapat menjadi gerakan yang
andal dan berkelanjutan apabila didukung oleh gerakan para cerdik-pandai yang
terus-menerus melakukan kajian kritis atas berbagai cara berpikir dan praktik
berekonomi yang berlangsung dewasa ini. Tujuannya untuk menemukan gagasan, cara
berpikir dan praktik ekonomi baru yang lebih berorientasi pada kaum miskin dan
lemah serta cita-cita kesejahteraan bersama.
Memajukan yang sudah
ada
31. Untuk melaksanakan
semua itu, kita tidak harus memulai dari kekosongan. Sudah ada banyak pemikiran
dan kebiasaan baik di dalam masyarakat kita yang dapat kita kembangkan untuk
memperkuat gerakan sosio-ekonomi tersebut. Usaha ekonomi bersama hanya
dapat dibangun di atas dasar saling percaya. Demikian pula kita patut
menghargai dan mendukung sejumlah inisiatif yang diambil pemerintah dan
kekuatan ekonomi berskala besar serta menengah untuk mendukung usaha-usaha
ekonomi rakyat. Untuk memastikan bahwa bantuan pemerintah dan kekuatan-kekuatan
ekonomi berskala besar serta menengah itu sungguh memberdayakan kaum miskin dan
lemah, dan tidak justru melahirkan pola ketergantungan, diperlukan pengawalan
dan pemantauan yang kritis dari masyarakat luas.
32. Di dalam Gereja Katolik Indonesia pun sudah ada sejumlah inisiatif yang
patut dijadikan dasar untuk membangun lebih lanjut perekonomian rakyat,
misalnya Komunitas Basis Gerejawi, Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan
Koperasi-koperasi Umat, seperti Koperasi Kredit dan Credit Union (CU).
Komunitas
Basis Gerejawi sebagai cara menggereja secara baru perlu dikembangkan menjadi
wadah saling menguatkan dalam iman yang membuahkan usaha-usaha nyata untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama.
APP diharapkan semakin
menjadi sarana pembelajaran bersama mengenai tema-tema yang berkaitan dengan
kehidupan menggereja dan memasyarakat, termasuk keadilan di bidang
sosio-ekonomi. Selanjutnya dana APP nasional dan keuskupan diarahkan secara
lebih efektif bagi upaya-upaya sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Koperasi-koperasi Umat
hendaknya dikelola sebagai bentuk usaha bersama yang memperhatikan secara
khusus kelompok warga miskin yang berpotensi dan mampu secara aktif melakukan
usaha ekonomi tetapi tidak memiliki modal.
Kita hanya dapat
membangun bersama di atas dasar kekuatan sendiri, apabila kita bersedia
belajar, berdiskusi, bergerak dan bekerja bersama.
VI. PENUTUP
33. Demikianlah
beberapa pemikiran yang telah berkembang selama hari-hari refleksi Sidang KWI
2006. Kami menyampaikannya sebagai bahan pembelajaran bersama tentang masalah
keadilan bagi semua di bidang sosio-ekonomi. Kiranya pembelajaran bersama ini
dapat mengantar ketiga poros kehidupan masyarakat, yakni badan-badan publik,
kekuatan pasar dan komunitas warga, untuk mengambil langkah-langkah yang
penting bagi terwujudnya kesejahteraan untuk semua.
----------------------------------------------------------
CATATAN-CATATAN
[i] Prefasi Tanah Air I, TPE, hlm. 104.
[ii] Berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS), Jakarta, 1 September 2006.
[iii] The World Bank
& The World Bank Office in Jakarta, Making the New Indonesia Work for the
Poor, November 2006
[iv] Dari 673 bencana
yang terjadi di Indonesia antara tahun 1998 dan 2004, misalnya, lebih dari 65
persen disebabkan oleh kesalahan pengelolaan lingkungan, seperti banjir,
longsor dan kebakaran hutan (M. Chalid, 'Bangkrutnya Rezim Kelola SDA', makalah
kerja Down to Earth, Bogor, Jawa Barat, April 2006).
[v] Departemen
Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2005.
[vi] UNICEF, 2006
[vii] Penulis buku Max
Havelaar atau Pelelangan-Pelelangan Kopi dari Nederlandsche Handelsmaatschappij
(1860) berbela-rasa dengan para buruh itu, dan ia sungguh merasa Multatuli -
'multatuli' adalah bahasa Latin untuk "saya sudah banyak menderita".
[viii] Bandingkan
dengan Gaudium et Spes, No. 65.
[xii]
Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, 41.
[xiii] Bandingkan
dengan Yer7:6
[xxiv] Bandingkan
dengan Centesimus Annus, 40.
[xxvi] Centesimus
Annus, 40.
[xxviii] Pius XII,
Pidato Radio 24 Desember 1944.
Photo Credit: http://en.qantara.de/Education-Gives-Hope-to-Indonesian-Slum-Kids/20418c22342i0p134/index.html